Hancur Lebur karena Kasus Suap
Match fixing atau pengaturan skor atau suap atau apa pun itu
istilahnya ternyata sudah menjadi momok buat sepak Indonesia sejak
lama. Ini terjadi pada Asian Games 1962 yang ironisnya digelar di
Jakarta.
Sukses di Asian Games Manila 1954, Olimpiade Melbourne 1956, dan
Asian Games Tokyo 1958, membuat Toni Pogacnik dibebani target juara.
Hal
yang cukup realistis mengingat gairah sepak bola Indonesia tengah
menanjak dan momentum itu ada tatkala Jakarta ditunjuk sebagai tuan
rumah.
Sayang, Toni Pogacnik meninggalkan Indonesia dengan cerita tidak
enak. Timnas Indonesia dihantam skandal suap di Asian Games 1962.
Skandal Senayan 1962 mencoreng wajah sepak bola Indonesia.
Kasus match fixing
yang melibatkan sejumlah pemain pilar Timnas Indonesia mulai terkuak
pada awal Januari 1962 dan memuncak pada 19 Febuari 1962 ketika
Indonesia berujicoba dengan tim Vietnam Selatan.
Ini bermula saat penggawa Timnas Indonesia, Maulwi Saelan merasa ada
gelagat aneh dari rekan setimnya pada 1961 atau ketika Indonesia
menjalani beberapa laga persahabatan.
Usut punya usut, termasuk dengan
melibatkan penyelidikan kepolisian, bukan sekali dua kali saja para
pemain timnas bermain mata dengan para bandar judi.
Hasil penyelidikan menyebutkan, pertandingan-pertandingan yang
ditemukan telah diatur itu di antaranya adalah pertandingan timnas
Indonesia melawan Malmoe (Swedia), Thailand, Yugoslavia Selection dan
Ceko Combined.
Setidaknya ada 10 pemain andalan timnas saat itu yang dikenai
skorsing.
Mereka adalah Iljas Hadade, Pietje Timisela, Omo Suratmo,
Rukma Sudjana (kapten), Sunarto, Wowo Sunaryo (Persib), John Simon,
Manan, Rasjid Dahlan (PSM Makassar), dan Andjiek Ali Nurdin (Persebaya).
Wowo Sunaryo, satu di antara pemain Timnas Indonesia yang menerima
suap, mengaku tak punya pilihan selain menerima suap.
Ia merasa
terperangkap oleh jerat setan sehingga ia tak cuma mengkhianati Pogacnik
saja, tapi seluruh rakyat Indonesia.
"Seperti digoda setan, saya terperangkap. Saya terpaksa menerimanya
karena kondisi keluarga," kata Wowo Sunaryo seperti dilaporkan majalah Tempo edisi 14 Juli 1979. |
0 komentar: