Akhirnya berkat keuletan dan kemauan yang keras, pada tes yang ketiga
Soerjadarma akhirnya dapat diterima menjadi siswa penerbang yang
diselenggarakan di Kalijati.
Soerjadarma menyelesaikan pendidikan
Sekolah Penerbang pada bulan Juli 1938, namun tidak pernah
diberikan brevet penerbang berhubung adanya politik diskriminasi
Belanda, yang tidak mengizinkan seorang pribumi untuk menjadi penerbang
karena Militaire Luchtvaartdient merupakan kelompok elite Belanda saat
itu.
Perjalanannya untuk membentuk satuan TNI AU terbilang tidak mudah,
pada saat itu ia juga masih harus berjuang melawan Jepang.
Karena,
setelah Belanda selesai menjajah Indonesia, Jepang juga ingin menjajah
Indonesia karena kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia.
Dalam
membangun kekuatan udara Indonesia, Soerjadarma memanggil Agustinus
Adisujtipto di Salatiga untuk ikut membantu menyusun kekuatan udara
Indonesia.
Meskipun dalam keadaan serba kekurangan, namun semangat
Soerjadarma dalam membangun dan menyusun kekuatan udara Indonesia tidak
pernah luruh.
Sejak memegang pimpinan AURI, Soerjadarma banyak
melakukan penerbangan ke berbagai daerah di Indonesia.
Ia dengan berani
ikut terbang ke Yogyakarta, dari cross-country flight ke Gorda (Serang),
dengan menggunakan Cureng, pesawat peninggalan Jepang.
Hal ini
dilakukan untuk membuktikan kepada dunia luar, bahwa kita memiliki
kekuatan udara di wilayah Nusantara. Walaupun yang digunakan adalah
pesawat tua peninggalan Jepang.
Namun, oleh karena didorong oleh tekad
perjuangan dan semangat yang membaja, maka pesawat-pesawat rongsokan
tersebut berhasil diperbaiki oleh tenaga teknisi Indonesia.
|
0 komentar: