Kenapa Pelat Nomor Kendaraan Jadi Putih Tulisan Hitam?
Learn more »
Sejarah Tugu Monas Jakarta secara singkatnya perlu kita ketahui.
Monumen Nasional (Monas) adalah simbol kebesaran bangsa Indonesia dan menjadi salah satu landmark yang jadi kebanggaan ibu kota Jakarta.
Sejarah Tugu Monas secara singkat dimulai pada 17 Agustus 1961, dengan adanya pemasangan tiang pancang pertama yang dilakukan oleh Presiden RI pertama Ir. Sukarno.
Hanya saja setelah Sukarno tidak lagi berkuasa pada 1967, pembangunan Monas mengalami kelesuan bahkan sempat terhenti. Selain karena unsur politik, anggarannya pun semakin menipis.
Baru pada 1969 pembangunan Monas mulai dilanjutkan kembali.
Pembangunan tersebut terdapat dalam Kepres No. 314 Tahun 1969 yang diketuai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Monumen Nasional diresmikan tahun 1975.
Teknik pembuatan Monas juga mengikuti angka kemerdekaan yaitu 17-08-1945. Tinggi Monumen Nasional ini mencapai 132 meter dan berdiri di atas tanah seluas 80 hektar.
Tujuan didirikannya tugu adalah untuk memperingati dan mengabadikan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia serta membangun semangat juang Indonesia.
Tugu Monas memiliki emas lapisan seberat 32 kg.
Penyumbang emas yang ada di Tugu Monas Jakarta ini adalah Teuku Markam yang berasal dari Desa Alue Caplie, Kecamatan Seunudon, Aceh Utara.
Sejarah Tugu Monas Jakarta juga melambangkan lidah api yang menyala dan tak kunjung padam. Arti dari Tugu Monas yang menjulang tinggi adalah falsafah Lingga Yoni yang berbentuk "alu" sehingga lingga dan an "lumpang" sebagai yoni. Alu dan lumpang merupakan lambang kesuburan.
Dalam proses pembangunan Monas ini terjun langsung dua arsitek yang ikut merancang desain Monas yaitu Soedarsono dan Ir. F Silaban.
Selain bentuknya, keunikan Monas bagi wisatawan juga banyak memiliki daya tarik. Salah satunya adalah pengunjung akan mendapatkan pengalaman mengamati kota Jakarta dari ketinggian Tugu Monas.
Dan di bagian bawah Monas juga terdapat Museum Sejarah Nasional yang menyimpan diorama lengkap dengan perjalanan Nusantara dari zaman kerajaan, revolusi hingga kemerdekaan.
Learn more »Wacana pembentukan Sumatra Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM), kembali muncul ke permukaan disela polemik tentang Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang seragam Sekolah yang terbit usai kasus jilbab non Muslim di SMKN 2 Padang.
Bahkan di media sosial, kini berseliwearan formulir dukungan untuk Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau melalui aplikasi google form.
Wacana tentang Daerah Istimewa Minangkabau ini, pada mulanya mencuat ke permukaan publik sejak tahun 2014 lalu. Adalah Dr. Mochtar Naim, sosiolog ternama yang menjadi inisiator.
Pada saat itu, ia bersama dengan beberapa tokoh lainnya, sempat mendeklarasikan wacana DIM ke publik.
Bahkan pada 2016, Mochtar Naim dan tim berhasil merampungkan perumusan naskah akademik RUU Perubahan Provinsi Sumatera Barat menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau.
Diwawancari Wartawan usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Sumatra Barat Kamis 19 Februari 2021, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus, mendukung keinginan itu dan upaya masyarakat terkait dengan pembentukan Daerah Istimewa Minangkabau.
Meski demikian, ia berharap dan meminta kepada tokoh Sumbar yang punya pemikiran sama agar dapat seiring selangkah datang ke DPR untuk menyampaikan aspirasinya.
“Saya dukung keinginan dan upaya masyarakat itu.
Saya minta kepada tokoh masyarakat Sumbar ini, agar seiring selangkah datang ke DPR menyampaikan aspirasinya, tidak hanya saya,” kata Guspardi.
Menurut Guspardi, saat ini di Komisi II sedang dilakukan perevisian terhadap UU Provinsi.
Karena, UU itu tidak cocok lagi pada masa dewasa ini. Karena, UU pembentukan Provinsi termasuk Sumbar itukan berdasarkan RIS tahun 1958.
Karena kita Negara berdasarkan UUD 1956, tentunya harus mengacu pada itu.
Sudah ada komitmen Komisi II untuk semua Provinsi yang sudah habis masa waktunya seperti Papua yang berakhir pada 2021.
“Saya adalah anggota pansus daripada UU provinsi Papua. Sumbar juga merupakan prioritas bagi Komisi II, termasuk juga NTB, NTT dan Bali.
Dan memang, DIM sebelumnya sudah diprakarsai oleh pak Mochtar Naim agar bagaimana Sumbar ke depan, didasari oleh undang-undang nya itu berdasarkan Daerah Istimewa Minangkabau,” ujar Guspardi.
Guspardi menyampaikan, saat ini Bali juga akan diberikan hak istimewanya dengan kekhasan pariwisatanya.
Nah, kita sebetulnya lebih prioritas sebetulnya jika dibandingkan dengan Bali. Karena, kita satu-satunya masyarakat yang berdasarkan matrilineal.
Kemudian, kekhasan adatnya itu berkulindan dengan agama .
“Nggak ada yang begini rata-rata. Coba lihat dimanapun Provinsi lain. Ini adalah kekhasan.
Kalau di Minang, kalau dia orang Minang pasti Islam, kalau dia keluar dari Islam, dia tidak Minang lagi.
Itu adalah kekhasan yang dibuat. Jangan marah orang lain dengan apa yang sudah menjadi jati diri Minang itu.
Kan, ada juga yang memplesetkan dikatakan Ham, lah apa lah. Khebinekaan harus dihargai,” tutup Guspardi.
Learn more »Nama Presiden Joko Widodo tak hanya diabadikan sebagai nama jalan di Abu Dhabi, namun juga dipakai untuk menamai sebuah masjid baru di kawasan diplomatik di ibu kota Uni Emirat Arab.
Lokasinya juga sangat dekat dengan Jalan Presiden Joko Widodo.
Dalam sebuah video yang diunggah akun media sosial Kedutaan Besar RI Abu Dhabi, Duta Besar RI untuk Abu Dhabi, Husin Bagis menyampaikan sejumlah informasi tentang masjid tersebut, termasuk harapannya melalui pembangunan masjid.
Dia menjelaskan, Masjid Jokowi akan dibangun di atas bekas lokasi sebuah masjid bernama Masjid Abu Hanifah, yang dirobohkan dalam waktu dekat.
Diperkirakan kapasitas masjid di dalam dan di luar mampu menampung hingga sekitar 1.000 orang jemaah.
Lokasi masjid tersebut hanya berjarak sekitar satu kilometer dari bakal gedung baru KBRI Abu Dhabi yang akan dibangun akhir tahun ini. Berdasarkan estimasi aplikasi google maps,
diperkirakan butuh waktu tiga menit dengan kendaraan atau 15 menit berjalan kaki dari lokasi bakal kantor KBRI.
"Masjid ditargetkan Insya Allah selesai sebelum memasuki bulan Ramadan tahun 2022 dan diharapkan rampung secara berbarengan atau berdekatan waktunya dengan peresmian gedung baru KBRI Abu Dhabi yang direncanakan April 2022," kata Dubes Husin dalam keterangan resminya.
Dia juga mengharapkan dan mengupayakan agar imam yang ditugaskan di masjid Presiden Jokowi kelak adalah imam masjid dari Indonesia.
"Agar masjid ini nantinya dapat dimakmurkan dan dipenuhi oleh seluruh staf KBRI yang Muslim dalam pelaksanaan Salat Fardu, terutama di sela-sela kegiatan pelayanan dan jam kantor," ungkapnya.
Learn more »![]() |
Berbagai bentuk budaya dan juga bahasa menjadikan negara ini mempunyai sejuta keunikan yang tak ada duanya. Ya, di mana lagi kalau bukan #DiIndonesiaAja. Namun, tahukah kamu Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nomor satu bangsa kita ternyata lahir di sebuah pulau kecil yang terletak kurang lebih 2 km dari Tanjung Pinang? Ya, pulau tersebut adalah Pulau Penyengat yang hanya memiliki ukuran panjang 2.000 meter dan lebar 850 meter saja! Eits, tapi jangan salah di pulau mungil inilah lahir bahasa yang kita pakai sehari-hari yaitu Bahasa Indonesia. Salah satu anggota dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Penyengat, Raja Farul menuturkan meski tidak tampak di peta, pulau ini menjadi tempat lahirnya akar bahasa dan tata bahasa Indonesia. Inilah yang membuat pulau kecil ini memiliki makna yang sangat erat, salah satunya adalah menjadi pusat pertahanan Kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang. "Kemudian pulau ini menjadi pusat pemerintahan yang dipimpin oleh tuan muda dan tua besar dan kemudian pulau ini jadi tempat penulisan dan kesusastraan," tutur Raja Farul dalam konferensi pers Traval Virtual Heritage 2020 yang digelar secara virtual, Jumat (9/10/2020). |
![]() |
Penasaran dengan pulau tersebut? Tenang saja, karena ada sebuah virtual tur yang bakal membawa kamu menjelajahi pulau tempat lahirnya Bahasa Indonesia ini. Tur kali ini akan membawa kamu kembali ke abad 19 tepat di masa penulisan dan juga kesastraan terjadi di pulau ini. Petualangan virtual di Pulau Penyengat akan dimulai dengan mengetahui terlebih dahulu peran dari Pulau Penyengat sebagai pusat cendekia dengan mengunjungi Masjid Raya Sultan Riau dan melihat bagaimana peran pemerintahan kerajaan pada masa itu untuk meningkatkan kecerdasan masyarakatnya. Di Masjid ini, kamu akan disuguhkan dengan berbagai bukti dan tonggak sejarah bagaimana kerajaan pada saat itu memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Usai mengunjungi masjid tersebut, kamu akan diajak untuk mendatangi tempat-tempat para cendekiawan di berbagai bidang mulai dari kesehatan hingga astronomi. Setelah itu, kamu akan mengunjungi makam seorang yang paling penting dalam lahirnya Bahasa Indonesia yaitu Raja Ali Haji (RAH) yang juga dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Di tempat ini, akan diceritakan soal kehidupan dari RAH yang melahirkan buku tata bahasa melayu yang hingga kini menjadi bahasa yang kita pakai sehari-hari. Di pulau ini juga pada abad ke-19 lahir sekelompok cendekiawan yang menerbitkan berbagai karya seperti buku dan membagikan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat, sehingga banyak karya-karya lain yang dihasilkan di pulau ini. Pada akhir acara, kamu juga akan diajak untuk lebih mengenal tulisan dan juga bahasa aksara Arab-Melayu yang dulu sempat menjadi bahasa di berbagai tempat yang kini sudah mulai sulit untuk ditemukan. Virtual tur ini merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Kemenparekraf bekerja sama dengan Traval.co yang bertajuk 'Traval Virtual Heritage 2020'. Lewat kegiatan ini, Kemenparekraf mengajak masyarakat Indonesia untuk mendukung pariwisata Indonesia. Tak hanya itu, #DiIndonesiaAja juga banyak kebudayaan lainnya yang tak kalah menarik. Semua itu akan dijelaskan oleh 7 komunitas lainnya yang tersebar dari wilayah barat hingga timur Indonesia pada virtual tour tersebut. Di antaranya adalah Lakoat Kujawas, Hetika, Jabu Sihol, Rumah Cinta Wayang, Kesemsem Lasem, Lepo Larun, dan Kayaka Humba yang bakal membawa kamu bersama influencer ke mengenal budaya Indonesia. Adapun acara ini sudah berjalan sejak tanggal 26 September, dan akan berakhir pada 25 Oktober 2020. Bagi yang ingin mengetahui detail acara ini lebih lanjut bisa melihatnya di sini. Bila kamu ingin menyaksikan virtual tour yang sudah dilakukan, kamu bisa melihatnya official YouTube Pesona Indonesia. |
![]() |
Klub Serie C, Como 1907 memiliki ambisi besar untuk bisa mendatangkan bintang ternama Italia, Mario Balotelli. Masa depan Balotelli sendiri sejauh ini masih abu-abu, setelah kariernya di Brescia dipastikan tamat pada musim panas ini, dengan sang pemain terlibat perseteruan dengan presiden klub, Massimo Cellino. Sky Sport Italia kini melaporkan bahwa penyerang berusia 29 tahun itu bisa bergabung dengan Como, yang finis ke-13 dalam klasemen akhir Grup A selepas musim 2019/20 kasta ketiga Italia itu terhenti karena pandemi virus corona. Negosiasi mengenai kontrak telah berjalan di antara kedua pihak dan Como kabarnya siap untuk memenuhi tuntutan gaji Balotelli. Meski memiliki ambisi besar membawa Como kembali ke Serie A, usai terakhir kali berkiprah di kasta tertinggi pada musim 2002/03 dengan nama lawas Calcio Como, mereka menitik beratkan investasi untuk jangka panjang, bukan jor-joran seperti Manchester City atau Paris Saint-Germain. "Serie A jelas menjadi target kami. Namun, kami bukanlah grup yang hanya sekadar ingin menghambur-hamburkan uang. Filosofi bisnis kami adalah kami tidak membeli nilai, tapi menciptakan nilai. Menghabiskan banyak uang untuk membeli pemain tidaklah menciptakan nilai," terang Michael Gandler selaku CEO sekaligus perwakilan SENT dikutip dari Football Italia. "Itulah sebabnya ketika Anda melihat investasi awal kami, fokusnya ada pada hal-hal seperti fasilitas, infrastruktur dan staf klub. Kami mungkin satu-satunya klub yang menghabiskan kurang dari 50 persen anggaran kami untuk membiayai pemain. Kebanyakan dari klub-klub lain mungkin bisa mencapai 80-90 persen." Tak hanya fokus pada para pemain belia Italia, Como nantinya juga akan digunakan sebagai tempat berlatih dan bernaungnya Garuda Select, program akselerasi pengembangan pemain muda Indonesia hasil kolaborasi PSSI dan Djarum yang sudah berjalan selama dua tahun terakhir. |
Organisasi masyarakat (Ormas) di Garut membuat heboh dengan mengajukan permohonan untuk membuat uang Rupiah sendiri.
Gambar Rupiah tersebut pun sangat berbeda dari yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI).
Diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat dibuat heboh setelah adanya permohonan izin dari sebuah organisasi yang mengganti lambang negara Indonesia Garuda Pancasila dengan mengubah kepala burung Garuda menghadap ke depan dan di atas kepala terpasang mahkota.
Selain lambang negara yang diubah, organisasi tersebut juga membuat mata uang sendiri.
Ormas yang mengajukan tersebut diketahui dari Paguyuban Kandang Wesi Tunggul Rahayu.
Bila dilihat dari uang pecahan Rp20.000 versi ormas, uang tersebut memiliki warna hijau yang berbeda dengan uang Rp20.000 tahun emisi 2016 yang dikeluarkan Bank Indonesia.
Tidak jelas juga siapa gambar pahlawan dalam uang tersebut. Sedangkan uang Rp20.000 keluaran BI diketahui Dr.G.S.S.J. Ratulangi.
Learn more »![]() |
Meski sudah berpulang hampir empat tahun silam, sosok Alex Kumara tidak bisa dilupakan begitu saja. Alex Kumara dikenal sebagai seorang sound engineer dan tokoh pertelevisian nasional. Bahkan, almarhum sangat berjasa dalam pendirian beberapa stasiun televisi swasta nasional, termasuk tvOne. Nah, untuk mengenang almarhum, putra bungsu dari Alex Kumara, Adri Kumara, mendirikan sebuah yayasan, bernama Alex Kumara Foundation. Alex Kumara Foundation sendiri merupakan yayasan yang akan bergerak di bidang pengembangan seni dan pendidikan. Diakui Adri, sang ayah mendedikasikan seluruh hidupnya pada dunia musik dan televisi, yang menjadi alasannya di balik pendirian yayasan ini. “Almarhum ayah saya adalah orang yang sangat mengedepankan pendidikan dan seluruh hidupnya didedikasikan pada dunia musik dan pertelevisian yang tidak jauh dari dunia seni. Maka itu, yayasan ini kami peruntukkan untuk mengenang beliau dan juga sedikit membantu pengembangan di bidang pendidikan dan seni," ujarnya saat virtual launching Alex Kumara Foundation, Selasa, 22 September 2020. Lebih lanjut, ketua sekaligus penggagas yayasan tersebut menceritakan, rencananya Alex Kumara Foundation akan bekerja sama dengan banyak sekolah dan universitas untuk mengembangkan skill-skill yang penting dalam dunia profesional, seperti public speaking, kewirausahaan dan kreativitas. "Selain itu, Yayasan Alex Kumara juga akan mengedepankan bidang seni dan akan mencoba untuk mempromosikan karya musisi-musisi Indonesia, agar selalu dikenal oleh semua generasi," lanjut dia. Program yang akan dilakukan di awal adalah tur seminar dan webinar ke sekolah-sekolah dan juga sebuah konser dan lelang amal, yang akan diselenggarakan pada November 2020, mendatang, sebagai launching dari Alex Kumara Foundation. Mini concert bertajuk ‘Musik Taman’ ini rencananya akan menampilkan karya-karya musik dan musisi yang pernah mendapat sentuhan Alex Kumara saat berkarier di dunia sound engineering maupun pertelevisian. "Kami akan mencoba untuk bekerja sama dengan tokoh-tokoh yang mumpuni di bidangnya dan benar-benar melakukan program untuk mengedukasi generasi baru, tentang skill-skill yang diperlukan di dalam kehidupan dan jarang disentuh oleh kurikulum sekolah konvensional," kata dia. "Kami juga akan terus mencoba melestarikan karya-karya musik dan seni Indonesia yang mungkin jarang dikenal oleh generasi baru saat ini," tutup Adri Kumara. |
![]() |
Penemuan tulisan merupakan puncak kebudayaan dari sebuah peradaban manusia. Makanya, bangsa yang memiliki tulisan adalah bangsa yang besar.” Demikian ditulis Florian Coulmas dalam bukunya yang berjudul The Writing System of the World. Tak banyak di antara jutaan suku yang ada di bumi menciptakan tulisan. Dari 520 lebih suku bangsa yang ada di Indonesia, suku Bugis-Makassar termasuk yang memiliki aksara Lontaraq.
Naskah I La Galigo adalah salah satu karya sastra yang ditulis dengan aksara Lontaraq—warisan budaya dunia yang telah diakui oleh UNESCO, badan dunia yang menangani masalah pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan. Karya ini terdiri atas 300 ribu bait, salah satu karya sastra terpanjang, melebihi karya fenomenal Mahabharata dan Ramayana dari India yang hanya sekitar 150 ribu bait.
Sayang, keberadaan Lontaraq nyaris tak mendapat perhatian. Berdasarkan hasil seminar internasional kebudayaan tentang huruf-huruf yang mengalami ancaman kepunahan di Asia Tenggara, Februari lalu, Lontaraq dinilai tak akan bertahan lama. »Diprediksi, 20 tahun ke depan Lontaraq tak lagi dikenal,” ujar Profesor Nurhayati Rahman, guru besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, saat ditemui di kediamannya, Selasa dua pekan lalu, 9 September 2014. »Lontaraq akan terpelihara ketika masyarakat masih sadar dengan kebudayaannya.”
Inilah yang dilakukan Eka Wulandari. Bersama teman-teman komunitasnya di katakerja, Eka membuka kelas aksara Lontaraq setiap Sabtu. »Agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak lupa dengan tulisan lontaraq,” ucapnya, Sabtu lalu.
Manajer katakerja itu mengungkapkan, kelas ini dibuka atas dorongan beberapa pihak yang ingin melestarikan salah satu kebanggaan budaya Bugis-Makassar itu. Meski kelas ini dibuka untuk umum, hanya mahasiswa yang terlibat, itu pun jumlahnya tidak banyak.
Pelajaran pertama yang diberikan adalah mengenal huruf Lontaraq. Sebab, di antara peserta, masih ada yang tak mengenal huruf itu dan penyebutannya. »Setelah itu, baru belajar membaca, berbicara, dan menyimak,” kata Eka.
Selain kelas belajar, cara yang dianggap efektif adalah berbahasa daerah ketika berkomunikasi dengan orang sesukunya. »Seandainya SMS (pesan pendek ponsel) bisa pakai Lontaraq, saya gunakan. Selama ini saya hanya mengaku orang Bugis, tapi tak bisa berbahasa Bugis,” kata Eka.
Menurut Nurhayati, masyarakat Bugis-Makassar semestinya tak perlu sungkan menggunakan bahasa ibu mereka. Sebab, lewat itu, dunia akan lebih mengenal bangsa kita dengan karakter asli yang telah dibangun oleh para leluhur.
Nurhayati membandingkannya dengan huruf Korea Selatan yang terus digunakan. »Kalau kita berkunjung ke Korea Selatan, kita tidak akan menemukan tulisan Latin. Kalaupun ada, hanya sedikit. Mereka menuliskan seluruh petunjuk dan informasi menggunakan bahasa mereka, Hanguel,” kata profesor yang sempat menetap di Korea Selatan selama dua tahun itu.
Bukannya minder, Korea malah diperhitungkan di dunia untuk segala bidang. Selain itu, Jepang dengan simbol Samurai, ujar Nurhayati, mengantarkan mereka pada puncak perkembangan kebudayaan. Samurai tidak dilambangkan sebagai alat peperangan, melainkan spirit jati diri bangsa Jepang. Seperti Siri’ dalam lingkungan Bugis-Makassar.
»Jadi, kalau mau melanjutkan pendidikan di Korsel atau Jepang, kita dipaksa mengetahui bahasa mereka lebih dahulu. Kalau tidak mau mengenal bahasa mereka, kita akan kesusahan di sana. Sebab, mereka bangga dengan bahasa mereka. Sedangkan kita, yang juga punya bahasa dan tulisan sendiri, justru tidak mau berbahasa daerah,” ujarnya.
|
![]() |
Kehadirannya di ranjang bikin nyaman dan sejuk, sebanding dengan peran seorang istri atau penyejuk udara (AC).
SETIAP malam, sebagian dari kita terbiasa tidur dengan memeluk “istri Belanda” (Dutch wife) alias guling. Tanpanya tidur tak terasa nyaman. Tapi di masa lalu, tak semua orang bisa memilikinya. Hanya kalangan atas atau priyayi. Kisah dalam novel Jejak Langkahkarya Pramoedya Ananta Toer, menyentil kebiasaan itu.
Dalam sebuah percakapan sesama mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi, Wilam membicarakan lelucon-lelucon dari kehidupan tuan tanah bangsa Inggris kepada sahabat-sahabatnya, termasuk Minke. “Tahu kalian apa sebab di dalam asrama tidak boleh ada guling?”
Dia pun mulai bercerita. Menurutnya, guling takkan ditemukan di negeri-negeri lain di dunia –setidaknya menurut mamanya. Ini bermula ketika orang-orang Belanda dan Eropa lainnya datang ke Hindia. Karena tak membawa perempuan, mereka terpaksa menggundik. “Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik mereka membikin guling –gundik yang tak dapat kentut itu.”
Wilam juga bilang bahwa guling takkan ditemukan dalam sastra Jawa lama maupun sastra Melayu. “Memang tidak ada. Itu memang bikinan Belanda tulen –gundik tak berkentut. Dutch wife... “
“Dan tahu kalian orang pertama-tama yang menamainya? Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia.”
Meski sebuah novel, obrolan ringan mengenai guling itu tak sepenuhnya salah. Guling lahir dalam kebudayaan Indisch abad ke-18/19, percampuran antara kebudayaan Eropa, Indonesia, dan China. Kebudayaan ini kemudian menjadi gaya hidup golongan atas.
“Percampuran kebudayaan ini bisa dilihat misalnya pada pemakaian perabot seperti kursi Eropa, meja, dan tempat tidur dengan bantal, termasuk perlengkapan baru yang disebut guling atau Dutchwife, yang tidak ada dalam perlengkapan tempat tidur Eropa, jadi khusus Indisch,” tulis Hadinoto, dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra Surabaya, dalam “Indische Empire Style”, yang dimuat Jurnal Dimensi Arsitektur, Desember 1994.
Pribumi Hindia belum lama menggunakan guling. “Mereka hanya meniru-niru orang Belanda. Yang datang dari Belanda serta-merta ditiru orang, terutama para priyayi berkepala kapuk itu. Inggris mengetawakan kebiasaan berguling,” tulis Pram.
Hanya saja Pram, juga penulis lain, tak akurat ketika menulis bahwa guling hanya ada di Indonesia. Guling juga terdapat di negara lain di Asia Tenggara. Variannya di Asia Timur dinamakan “istri bambu”, jukbuin, chikufujin, atau zhufuren yang terbuat dari anyaman bambu. Varian ini kemungkinan memengaruhi Dutch wife, karena keberadaan jukbuin sudah jauh sebelumnya.
“Sejarah jukbuin bisa dilacak ke belakang setidaknya pada masa Dinasti Goryeo, ditunjukkan novel berjudul Jukbuin-jeon (Story of the Bamboo Wife) karya Yi Gok (1298-1351),” tulis www.dynamic-korea.com.
Pengaruh “istri bambu” atas “istri Belanda” juga tampak dari definisi Dutch wife dalam Oxford English Dictionary, sebuah kamus yang mulai disusun sejak 1879 dan rampung 1927 atau empat puluh delapan tahun kemudian. Kamus itu mendefinisikan Dutch wife sebagai “sebuah kerangka berlubang-lubang dari rotan yang digunakan di Hindia Belanda dan lain-lain untuk sandaran anggota badan di tempat tidur.”
Tapi yang jelas keberadaan guling ini kerap mengejutkan orang-orang yang baru tiba di Hindia. Sejarawan dan pastor dari Amerika Serikat John S.C. Abbott (1805–1877) menceritakan pengalamannya bertemu guling dalam “A Jaunt in Java”, yang dimuat di Harper’s New Monthly Magazine Volume XV, Juni-November 1857.
Ketika melemparkan diri ke ranjang, kata Abbott, Anda akan telentang dengan Dutch wife. “Jangan terkejut! Anda tak akan mendapatkan ‘kuliah tirai’ (curtain lecture) karena Dutch wife berbentuk bulat, bantal panjang keras, yang bikin takjub setiap orang asing ketika melihatnya terbaring rapi dan kaku di tengah ranjang seperti mayat kecil,” tulis Abbott.
Setelah tahu bagaimana memperlakukan “istri Belanda”, Abbott pun menjadi lebih dekat dengannya.“Singkatnya, Dutch wife harus diletakkan di bawah kaki atau lengan untuk mencegah kontak terlalu hangat dengan kasur, dan memungkinkan sirkulasi udara dingin. Dan kenyamanan dalam iklim tropis ini hanya dapat dirasakan oleh mereka yang telah mencobanya. Satu Dutch wife yang diisi dengan kapas lebih baik daripada Dutch wife buatan China yang berongga-rongga dan terbuat dari bambu,” kata Abbott.
Seorang Prancis, Désiré Charnay, pengemban misi ilmiah dan pendidikan untuk pihak otoritas Belanda, kebingungan saat tinggal di Jawa selama enam minggu pada 1878. Seperti dikisahkan dalamOrang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX karya Bernard Dorléans, guling itu berisi jerami yang keras seperti kayu. Pelayan Melayu memberi tahunya.
“Guling itu Anda letakkan di antara kaki agar keduanya tidak bersentuhan dan supaya Anda bisa tidur dengan nyaman,” kata pelayan Melayu itu.
Begitu nyamannnya sehingga Horst Henry Geerken, seorang Jerman yang 18 tahun tinggal dan bekerja di Indonesia, tak melupakan pengalamannya bersama guling. Hingga sekarang, dia jadi terbiasa dengan guling. “Sekali pun di Jerman, saya tetap memakai guling. Kita bisa memeluk guling pada malam hari dan menekuknya dengan kaki. Rasanya nyaman dan sejuk. Guling berguna untuk memberi sirkulasi udara secara bebas dan menyerap keringat di kaki,” tulis Geerken dalam bukunya A Magic Gecko.
Tapi kenapa guling bisa dinamai Dutch wife?
Situs ensiklopedia online, di http://encyclopedia.jrank.org, berbasiskan Encyclopedia Britannica edisi ke-11 yang diterbitkan 1911, menulis bagaimana peranan bahasa dalam mendukung dan mengukuhkan stereotip, termasuk penggunaan istilah yang mengaitkan dengan Belanda. Dalam tulisan berjudul “Blason Populaire” disebutkan bagaimana Oxford English Dictionary menekankan koneksi sosiolinguistik.
“Karakteristik atau pengaitan dengan Belanda, sering dengan aplikasi yang menghina atau mengejek, sebagian besar disebabkan persaingan dan permusuhan antara Inggris dan Belanda pada abad ke-17... Namun hanya ‘janda Belanda’ (Dutch widow) yang dicatat sebelum 1700, dalam sebuah naskah drama karya Middleton pada 1608. Memainkan kata-kata menggunakan kata Belanda dan negara-negara yang rendah untuk merujuk daerah kelamin umum pada masa Elizabethan.” Karya Thomas Middleton itu adalah Trick to Catch the Old One, terbit 1608.
Arietha, perempuan asal Belanda, dalam artikel “The influence of the Dutch on the English language”, dimuat di www.hubpages.com, juga merujuknya pada persaingan antara Belanda dan Inggris. Setelah kekuasaan Spanyol meredup, Belanda muncul sebagai kekuatan militer dan dagang yang unggul di lautan pada awal abad ke-17. Periode ini dalam sejarah Belanda dikenal sebagai masa keemasan. Bersama Inggris, Belanda menumpuk kekayaannya atas dasar kolonialisme-perusahaan dagang negara tak resmi melalui Dutch East dan West India Companies, yang membentang dari Hindia (Indonesia), Sri Lanka, dan Brasil hingga Aruba, Antilles, dan ujung selatan Afrika. Antara 1652 dan 1674, Belanda menghadapi perang laut dengan Inggris. Inggris berharap bisa merebut kendali pelayaran dan perdagangan dari Belanda tapi gagal.
“Sebagian besar kata-kata dan ekspresi Belanda dibuat saat titik terendah hubungan antara Inggris dan Belanda. Rivalitas mereka menemukan saluran lewat berbagai ucapan populer yang diciptakan masing-masing negara untuk menghina yang lainnya,” tulis Arietha.
“Tradisi anti-Belanda dari para pemukim Inggris awal bertahan dan memberi (Amerika) istilah-istilah seperti ‘Dutch treat’ pada 1887, ‘go Dutch’ pada 1931…,” tulis Stuart Berg Flexner dalam I Hear America Talking, sebagaimana dikutip dari forum The Phrase Finder (www.phrases.org.uk).
The Phrase juga mengutip Morris Dictionary of Word and Phrase Origins karya William dan Mary Morris: “Mungkin tak ada negara yang begitu terus-menerus menjadi semburan pelecehan secara verbal dari bahasa Inggris kecuali tetangga mereka di seberang lautan, Belanda… Tidak selalu demikian. Hingga setelah masa Shakespeare, Belanda biasanya dihormati di semua referensi sastra oleh para pengarang Inggris.”
Sementara Encyclopedia of World and Phrase Origins karya Robert Hendrickson menulis: “Orang-orang Belanda begitu tersinggung oleh bahasa Inggris selama tiga abad sehingga pada 1934 pemerintah mereka memutuskan untuk membuang kata ‘Dutch’ dan menggunakan kata ‘Netherlands’ jika memungkinkan.”
Meski Inggris membuat istilah itu dengan nada menghina, dan menertawakan kebiasaan menggunakan guling, toh mereka juga membutuhkannya ketika di Hindia. Dan Belanda punya istilah sendiri untuk guling ini, yakni British doll alias boneka Inggris. Setidaknya ini dikatakan Partotenojo, yang dijuluki Partokleooo, teman Minke lainnya dalam novel Jejak Langkah.
Terlepas dari perang istilah itu, guling tetap menjadi peralatan tidur yang tak bisa dilepaskan, hingga kini, terutama di Indonesia.
|
Copyright © 2013 this my world and Blogger Templates