Feature news

Tampilkan postingan dengan label profil pemain sepak bola dunia. Tampilkan semua postingan

PROFIL: Sergio Ramos, Pangeran Andalusia Yang Bertakhta Di Madrid

Selalu dibanggakan oleh tanah kelahirannya di Andalusia, Sergio Ramos memilih untuk bertakhta di ibu kota Negeri Matador.
Menilik kiprah spektakulernya dalam kurun setahun terakhir, Real Madrid selalu saja diidentikan dengan sang mega bintang, Cristiano Ronaldo. Satu hal yang wajar, mengingat kontribusinya yang sungguh maksimal dalam kiprah Los Blancos. Selanjutnya? Berturut-turut mungkin akan muncul nama si manusia termahal,Gareth Bale, kemudian Karim Benzema,hingga sang pelatih Carlo Ancelotti. Atau bahkan Iker Casillas yang kini lebih dikenal dengan kebiasaannya melakukan blunder.

Dilihat dari kacamata yang lebih tajam, publik seakan lupa bahwa ada sosok yang selalu muncul jadi pahlawan, saat Madrid berada dalam momen genting. Sosok yang memiliki posisi tak populer sebagai bek tengah, ia bahkan lebih dikenal dengan temperamennya atau gaya rambutnya yang nyentrik. Ya, siapa lagi jika bukan sang wakil kapten, Sergio Ramos Garcia.

Mari kita lempar sejenak waktu ke balakang, tepatnya pada 29 April 2014 di Allianz Arena, Munich, Jerman. Untuk kali pertama dalam 12 tahun, Madrid sukses melaju ke final Liga Champions, setelah menghantam Bayern Munich 4-0 (agregat 5-0). Ramos jadi bintang di laga itu, sekaligus peruntuh mental The Bavarian lewat sepasang gol-nya.

Sihir pemain berjuluk El Comanche itu lantas berlanjut di laga final. Tandukan kerasnya di masa injury time, sanggup memaksakan kedudukan imbang 1-1 melawan Atletico Madrid pada waktu normal. El Real pun pada akhirnya sukses meraih La Decima di ajang antarklub paling elit di benua biru, lewat keunggulan 4-1 di babak tambahan.

Yang terbaru tentu saja kebintangan Ramos di ajang Piala Dunia Antarklub 2014. Berkat kekokohannya di lini belakang serta dua gol yang ia cetak di sepanjang turnamen, Madrid diantarnya jadi kampiun dengan dirinya terpilih sebagai pemain terbaik.

Kini Ramos berada di puncak dunia. Tapi tunggu dulu, meski terbilang cepat, proses jatuh-bangun harus dialami penyuka tato tersebut untuk bisa sampai ke level setinggi ini.


                             Ramos mengawali kariernya di klub tanah kelahirannya, Sevilla

Lahir pada 30 Maret 1986 di Camas, Sevilla, Spanyol, seperti kebanyakan bocah di Andalusia, Ramos kecil merupakan pendukung sejati Sevilla. Sudah jadi agenda wajib Ramos dan teman sekolahnya di setiap senja, untuk melihat para penggawa Sevillistas Rojiblancos melakukan latihan rutin. Di akhir pekan? Jangan tanya, CCTV stadion Ramon Sanchez Pizjuan pasti sanggup menangkap wajah imutnya di setiap laga Sevilla.

Karenanya tak heran jika kemudian Ramos merintis karier sepakbola di akademi Sevilla, sejak umurnya menginjak sepuluh tahun. Berposisi sebagai striker yang ganas, karena posturnya yang menjulang memasuki usia remaja, Ramos lantas ditransformasi menjadi bek tengah. Tak jarang pula dirinya dipasang sebagai bek kanan, menilik kecepatannya yang di atas rata-rata.

Perjalanannya menuju level senior berjalan mulus. Bersama Jesus Navas dan Antonio Puerta, Ramos dijuluki media lokal sebagai tiga pangeran masa depan Andalusia. Pelatih Sevilla saat itu, Joaquin Caparros, lantas tertarik untuk menarik ketiganya masuk tim senior. Ia lantas memberi Ramos debut profesional pada 1 Februari 2004, saat Sevilla takluk 1-0 dari Deportivo La Coruna, di ajang La Liga Spanyol 2003/04.

Musim selanjutnya berlangsung indah karena bersama dua rekannya tersebut, Ramos jadi penggawa inti Los Nervionenses dengan mentas sebanyak 41 partai di semua ajang, pada musim 2004/05. Performanya brilian, dengan mampu tampil fleksibel sebagai bek tengah, bek kanan-kiri, hingga gelandang bertahan.

Namanya langsung menjulang di seantero Eropa. Deretan klub besar lantas menaruh minat terhadapnya, namun hanya Madrid yang bisa menarik hati Ramos dari klub pujaannya, Sevilla. Uang sebesar 27 digelontorkan Florentino Perez kala itu, untuk menjadikan Ramos pemain temahal Spanyol di bawah usia 20 tahun.

"Berulang kali saya katakan jika saya memiliki hasrat besar untuk bisa mengakhiri karier di Real Madrid. Namun jikalau harus pergi, maka Sevilla akan jadi tempat terakhir saya bermain sepakbola," ujar Ramos saat disinggung soal masa depannya.

          Ramos lebih sering beroperasi sebagai bek kanan, pada masa awalnya di Real Madrid

Dengan banderol sebesar itu, beban yang berada di pundak Ramos sungguh besar. Terlebih dirinya mengenakan nomor kostum 4, peninggalan sang legenda, Fernando Hierro. Harapan publik pada akhirnya belum mampu terjawab, karena meski mampu tampil reguler dalam 46 laga di musim 2005/06, tak satupun gelar sanggup dipersembahkannya.

El Tarzán de Camas lantas mampu memperbaiki performanya di musim kedua. Hal itu terjadi berkat kelihaian sang pelatih, Fabio Capello, dalam melihat potensinya sebagai bek kanan. Ramos sukses menyingkirkan pemain flamboyan Madrid, Michael Salgado, di posisi tersebut. Gelar juara La Liga Spanyol pertamanya pun direngkuh, pada akhir musim 2006/07. 

Ramos kemudian melanjutkan performa gemilang di musim berikutnya, lagi-lagi dengan berposisi sebagai bek kanan. Stamina, determinasi, intersep, serta akurasi umpan yang ciamik membuatnya makin mapan sebagai bek kanan. Namanya pun mulai jadi langgsanan di timnas Spanyol.

Kekurangannya hanya satu, yakni sikapnya yang temperamental. Ketika emosi Si Rambo sudah naik, fokus permainan seketika hilang hingga kerap menghasilkan blunder. Lebih parah, ia kerap merugikan tim lantaran kerap mendapat hukuman kartu merah. Hingga kini, Ramos bahkan tercatat sebagai penggawa Madrid yang paling sering dikartu merah, sebanyak 16 kali!


               Gelar Piala Dunia & Piala Eropa sudah dirasakan Ramos bersama timnas Spanyol
Ramos merupakan langganan timnas sejak masih merintis karier di akademi. Ia sudah memulainya dari kelompok umur timnas U-17. Promosinya ke level senior pun terbilang cepat, kala terjadi dalam duel uji coba kontra Tiongkok pada 26 Maret 2005, atau empat hari saja jelang ulang tahunnya yang ke-19. Ia memecahkan rekor sebagai penggawa termuda skuat La Furia Roja, sebelum akhirnya dipecahkan lagi oleh Cesc Fabregas.

Keberadaan Carles Puyol dan Carlos Marchena di jantung pertahanan, kembali memaksa Ramos bermain di posisi yang sama di klub, yakni bek kanan. Gol pertamanya terjadi tujuh bulan pasca debutnya, dalam kemenangan 6-0 kontra San Marino. Namanya lantas diikutkan Luis Aragones dalam skuat Piala Dunia 2006. Sayangnya Ramos urung untuk tampil.

Ramos kemudian jadi pilar saat Tim Matador mengejutkan dunia dengan meraih gelar Euro 2008. Namanya bahkan terpilih untuk masuk dalam tim terbaik turnamen. Satu performa yang ia tingkatkan dua tahun berselang, dengan mengantarkan Spanyol meraih gelar Piala Dunia 2010!

"Sungguh sulit dipercaya, tak pernah ada hari seindah ini, tak pernah ada trofi secantik ini. Gelar Piala Dunia lebih manis dari apapun," ungkap Ramos, sesaat pasca Spanyol menghempaskan Belanda 1-0 di final.

Seiring cederanya Puyol, posisi Ramos kemudian dikembalikan menjadi bek tengah. Ia diduetkan dengan rivalnya asal BarcelonaGerard Pique. Keduanya tampil kokoh, hingga mengukir sejarah dengan rengkuhan gelar back to back di Euro 2012. Sayangnya, performa Ramos dan Pique dikecam habis-habisan pasca kegagalan mengenaskan Spanyol di Piala Dunia 2014 lalu.

"Saya memang seorang juara Piala Eropa dan Piala Dunia dengan menjadi bek kanan. Tapi saya tidak pernah merasa lebih baik ketika ditempatkan sebagai bek tengah," tukas Ramos, atas kritik yang menerpanya pasca turnamen di Brasil tersebut.


                                     Ramos jadi kunci raihan gelar La Decima Real Madrid

Semakin matang dengan raihan gelar Piala Eropa dan Piala Dunia, Ramos juga menularkan performa gemilangnya di level klub. Memasuki musim 2011/12, ia mulai beroperasi di posisi naturalnya sebagai bek tengah, menyusul cedera Ricardo Carvalho, sang pengisi pos paten. Namun ketika tinggal setapak menunju masa keemasannya, Ramos dikecam seluruh Madirdista dunia akibat kegagalannya mengeksekusi sepakan penalti pada duel tos-tosan dengan Bayern, di babak semi-final Liga Champions.

Ramos begitu terpukul atas momen tersebut. Namun mental juara dunianya sudah terbentuk, ia bangkit menjadi lebih kuat dan semakin kuat memasuki musim 2013/14. Mulai rutin mentas sebagai kapten Madrid, seiring pencadangan Casillas, ia tampil sebagai pemimpin sejati di nyaris sepanjang musim.

Dua momen yang sudah dipaparkan pada awal artikel lantas jadi pembuktian Ramos. Kebesarannya lantas semakin ditegaskan pada Senin (21/12) dini hari tadi, dengan mengantarkan Madrid jadi juara Piala Dunia Antarklub 2014, yang mana dirinya berpredikat sebagai pemain terbaik turnamen. Kini siapa lagi yang berani bergeming terhadap keagungan sang Pangeran Andalusia?

"Target saya adalah melakukan tugas saya di lini pertahanan dengan baik dan memberikan sumbangan gol jika memang ada kesempatan. 2014 sungguh jadi tahun yang luar biasa! Saya benar-benar menikmati momen ini," tutur Ramos, pasca meraih gelar Piala Dunia Antarklub.

Memang usia Ramos masih 28 tahun, namun dengan apa yang sudah ditorehkannya, layaklah jika Sang Pangeran menyegel takhta sebagai salah satu penggawa legendaris, dalam sejarah emas Los Galaticos.

SERGIO RAMOS
Nama: Sergio Ramos Garcia

Tempat, Tanggal Lahir: Camas, Sevilla, Spanyol, 30 Maret 1986

Klub:
 Sevilla (2004-05)
Real Madrd (2005 - ...)

Caps Timnas Spanyol: 124/10 gol
Koleksi Gelar

(Real Madrid)

La Liga Spanyol: 3 (2006/07, 2007/08, 20011/12)
Copa del Rey:  2 (2010/11, 2013/14)
Supercopa de Espana: 2 (2008, 2012)
Liga Champions: 
1 (2013/14)
Piala Super Eropa : 1 (2014)
Piala Dunia Antarklub: 1 (2014)

(Timnas Spanyol)

Piala Eropa: 2008, 2012
Piala Dunia: 2010 

 "Ketika melihatnya [Sergio Ramos] bermain, saya teringat akan sosok Paolo Maldini,"
- Carlo Ancelotti
 

"Sergio Ramos luar biasa! Ia adalah malaikat penyelamat saya di final Liga Champions,"
- Iker Casillas


Learn more »

Sejarah Hari Ini (24 Desember): Masih Ingat Marcelo Salas?

Tepat 40 tahun lalu lahir salah satu bakat terbaik dalam sejarah sepakbola Chili bernama Marcelo Salas.
Anda masih ingat Marcelo Salas? Ya, ketika beberapa di antara Anda selalu mengidentikan sepakbola Chili dengan Ivan Zamorano, maka sebagian lainnya akan menyebut nama Salas. Sosok striker dengan kecepatan dan tembakan luar biasa itu merupakan salah satu legenda terbesar Land of Poets.

Tak terasa karena kini sosok berjuluk El Matador itu genap merayakan hari jadinya yang ke-40 tahun. Deretan cerita pahit dan manis di dunia sepakbola yang mencuatkan namanya pun lekat mengiringi.

Merintis karier di akademi sepakbola distrik kelahirannya, Temuco, karier gemilang Salas dimulai saat dirinya pindah ke ibu kota, Santiago, untuk bergabung dengan Universidad de Chile, pada usia 11 tahun.

Melakoni debut profesional pada 4 Januari 1994, Salas kemudian jadi bintang di klub tersukses Chili itu dengan mempersembahkan sepasang gelar juara Liga Primer Chili.


Berkat kegemilangannya, nama Salas lantas terkenal di seantero Amerika Selatan. Klub legendaris asal Argentina, River Plate, kepincut dan memboyongnya pada 1996 dengan banderol €2,7 juta.

Kepindahannya dikritisi karena River dinilai sudah memiliki sosok striker pembunuh dalam diri 
Julio Ricardo Cruz. Selain itu legenda Tango, Diego Maradona, juga mengecamnya karena lebih memilih sang rival ketimbang Boca Juniors, sebagai klub pertama yang melempar tawaran.

Namun Salas membungkam segala hujatan dengan prestasi. Dalam dua musim ia tampil 67 kali lewat torehan 31 gol. Catatan itu sudah cukup mengantarkan Los Millionarios mencomot gelar juara Clausura 1997, Arpetura 1997, dan Supercopa Sudamericana 1997.


                                     Salas mencapai puncak karier bersama Lazio

Berkat torehannya, Salas pun jadi langganan timnas Chili sejak memulai debut pada 1994. Namanya lantas disertakan sang pelatih, Nelson Acosta, pada Piala Dunia 1998.

Salas tampil sensasional dalam turnamen akbar tersebut. Ia sukses mengantarkan 
La Roja ke babak perdelapan-final dengan torehan empat gol dari jumlah partai yang identik.

Dunia kemudian mengenalnya, termasuk manajer Manchester United kala itu, Sir Alex Ferguson. Salas jadi sosok paling laris di lantai transfer musim panas 1998 dan terus dihubungkan dengan kubu Setan Merah.

Namun jelang kepergiannya ke Old Trafford, 
Lazio datang lewat tawaran mencengangkan, sebesar €17,5 juta. Bisa ditebak, Shileno pun terbang ke Roma dan mencapai puncak kariernya.
Lebih dikenal sebagai sosok supersub, Salas panen gelar bersama Gli Aquilotti dengan enam gelar, meliputi Serie A Italia, Piala Italia, dua Piala Super Italia, Piala Winners, dan Piala Super Eropa.

Khusus untuk gelar yang disebut terakhir, Salas jadi sosok paling dikenang seluruh 
Laziale berkat gol semata wayangnya ke gawang Manchester United.

Malang melintang di Lazio, pada musim panas 2001 Salas kemudian mencatatkan rekor sebagai pemain termahal Chili dengan kepindahannya ke Juventus, lewat banderol €25 juta.

Namun justru di Turin-lah masa terburuk di sepanjang karier penyuka sepatu hitam itu hadir. Cedera ligamen merenggut tempatnya dari skuat utama.

Bertahan selama dua musim, Salas hanya mampu tampil 26 kali dengan torehan empat gol. Kegagalannya saat mengeksekusi penalti dalam Derby della Mole di musim 2001/02, jadi momen paling dikenang Juventini ketika menyebut nama "Salas".
Salas kemudian kembali ke River Plate untuk mengulang masa jayanya. Sayang, ligamen kembali jadi hambatan utamanya. "Saya sungguh sedih karena kini jadi pemain yang rentan cedera.

Mungkin masalah ini bisa membuat saya pensiun dini," ungkap Salas, sebelum memutuskan balik ke klub profesional pertamanya, Universidad de Chile, pada 2005.


Spekulasi terus berkembang akan keputusan Salas gantung sepatu, yang akhirnya jadi kenyataan pada 2008. Salas pensiun di usia yang relatif muda, 33 tahun.

Ia memainkan laga eksebisinya di Chili pada 2 Juni 2009, dengan menghadiri eks rekannya di timnas Chili Piala Dunia 1998, Universidad de Chili, River Plate, Lazio, dan Juventus.

Kebesaran 
El Matador tergambar nyata dengan kehadiran 50 ribu penonton dalam laga perpisahannya tersebut.

MARCELO SALAS
Nama: Jose Marcelo Salas Melinao

Tempat, Tanggal Lahir: Temuco, Chili, 24 Desember 1974

Klub:
 Universidad de Chile (1993-1996)
River Plate (1996-1998)
Lazio (1998-2001)
Juventus (2001-2003)
River Plate (2003-2005)
Universidad De Chile (2005-2008)

Caps Timnas Chili: 71/37 gol
Koleksi Gelar

(Universidad de Chile)

Liga Primer Chili: 
1994, 1995

(River Plate)

Liga Primer Argentina Arpertura: 
1997
Liga Primer Argentina Clausura: 
1997,2004
Copa Sudaremicana: 
1997

(Lazio)

Serie A Italia: 
1999/00
Coppa Italia: 
1999/00
Piala Super Italia: 
1998, 2000
Piala Winners: 
1998/99
Piala Super Eropa: 
1999

(Juventus)

Serie A Italia: 
2001/02, 2002/03
Piala Super Italia: 
2002 

Learn more »

Sejarah Hari Ini (27 Desember): Ballon D'Or Pertama Michel Platini

1983 jadi tahun di mana Michel Platini mematri namanya sebagai salah satu pesepakbola terhebat sepanjang sejarah.
Musim1982/83, jadi momen titik balik seorang pesepakbola legendaris bernama Michel Platini. Saat itu dirinya datang ke liga terbaik di dunia, Serie A Italia, bersama Juventus. Anak emas dari AS Saint Etienne tersebut kemudian diproyeksikan sebagai pengganti sepadan Roberto Bettega yang sudah menua.

Platini bergabung dengan komplotan juara dunia, yang baru saja mengantarkan timnas Italia ke puncak pada 1982. Sebut saja nama Dino Zoff, Marco Tardelli, hingga Paolo Rossi. Tanpa disangka, jika kondisi itu membuat Si No. 10 tak percaya diri.

Imbasnya ada pada performa di awal musim yang begitu tak meyakinkan. Di usia emasnya, 27 tahun, Platini dinilai tak ada setengahnya dari Bettega yang sudah menginjak usia 32 tahun. Publik dan media Negeri Pizza seketika memusuhinya hingga membuat si anak baru gerah dan meminta manajemen menjualnya di bursa musim dingin.

Beruntungnya Platini tak sampai hengkang. Pelatih, Giovanni Trapattoni, terus memasangnya di starting XIdan amat jarang menggantikan perannya. Sementara sang presiden, Gianpiero Boniperti, juga tak lelah membujuknya nyaris setiap hari, dengan mengajaknya makan siang pasca latihan.

Hasilnya? Platini pun memutuskan untuk melanjutkan kiprahnya di Turin, selepas jeda musim dingin.


                          Platini nyaris hengkang di musim perdananya bersama Juventus

Kepercayaan dirinya meningkat dan dampaknya bagi tim sungguh besar. Juve yang terdampar di peringkat kelima pada paruh musim pertama, dibawanya melesat sebagai runner-up Serie A. Kemudian trofi pertama juga ia persembahkan melalui Coppa Italia. Hebatnya Platini jadi top skor masing-masing ajang, dengan 16 dan tujuh gol.

Satu-satunya penyesalan adalah kegagalan Michel The King meraih gelar Piala Champions 1982/83, setelah kalah dari Hamburg SV di partai final. Namun apa yang sudah dicatatkan Platini di sepanjang musim itu, tetap membuat publik dunia enggan berpaling darinya. 

Pada akhir 27 Desember 1983, majalah terkemuka sepakbola, France Football, dengan bangga menganugerahi pemain asal negaranya sendiri itu lewat gelar Ballon d'Or. 

Platini mendapat dukungan sebesar 110 suara, yang dipilih oleh perwakilan jurnalis olahraga dari 26 negara yang bernaung di bawah bendera Benua Eropa. Ia unggul telak atas sang runner-up sekaligus bintang LiverpoolKenny Dalglish (26 suara), dan Allan Simonsen (25 suara) yang berada di peringkat ketiga.

Patut diketahui jika secara format, pengumpulan suara dalam sistem masa lampau diklasifikasikan berdasarkan tempat: Posisi pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Gordon Strachan (24 suara) dan Super Hero Piala Champions, Felix Magath (20 suara), sendiri kemudian menyusul di posisi keempat dan kelima.

Pada akhirnya performa Platini terus memuncak. Playmaker and Solistlantas sukses mengikuti jejak hat-trick Ballon d'Or Johan Cruyff, dengan meraihnya kembali di tahun 1984 dan 1985.

Kini, catatan hat-trick sang legenda yang juga presiden UEFA sudah sukses dilampaui. Adalah Lionel Messi, yang bersama Barcelona-nya sukses membuat quat-trick Ballon d'Or secara konsekutif -- 2009, 2010, 2011 dan 2012.
Learn more »

5 Pesepakbola Hebat yang Terlupakan


Setelah banyak dijejali oleh rekor-rekor yang diciptakan oleh Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, tak ada salahnya kita belajar sedikit tentang sejarah. Jauh sebelum sepak bola memasuki era teknologi seperti saat ini, nyatanya sudah banyak bermunculan pesepakbola-pesepakbola hebat.

Namun berbeda dengan nama-nama seperti Pele, Johan Cruyff, dan Alfredo Di Stefano, nama-nama yang ada di dalam daftar ini telah dilupakan, padahal sebenarnya mereka memiliki kemampuan yang tak kalah dari nama-nama di atas.

Siapa sajakah nama-nama yang dimaksud? Simak rangkuman berikut ini

Jorge 'Magico' Gonzalez

Pesepakbola asal El Salvador ini memiliki nama lengkap Jorge Alberto Gonzalez Barillas. Kemampuan olah bolanya sangat luar biasa hingga dirinya mendapat julukan Magico Gonzalez (Gonzalez sang Penyihir). Sepak terjangnya yang paling terkenal adalah bersama klub asal Spanyol, Cadiz. Bagaimana tidak, Gonzalez nyaris seorang diri membawa tim tersebut promosi dari Segunda Division ke La Liga.

Performanya yang paling spektakuler adalah saat mengiring bola dari tengah lapangan sebelum melewati 3 pemain Barcelona dan mencetak gol. Sayang kegemaran Gonzalez meneggak minuman keras dan memakai obat-obatan terlarang telah menghancurkan karirnya.
Josef Bican

Jika saat ini ada Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi yang torehan golnya melebihi jumlah penampilannya, maka di era 30'an ada sosok legendaris, Josef Bican yang melakukannya.

Bican yang merupakan pesepakbola keturunan Austria terkenal dengan sepak terjangnya bersama Rapid Vienna dan Slavia Prague. Sepanjang berkarir secara profesional, almarhum Josef Bican sudah mencetak lebih dari 800 gol.

Bahkan rumornya, saking hebatnya Bican, ia tidak ikut berlatih bersama rekan-rekannya yang lain, melainkan rekan-rekannya yang menyaksikan dan mencontoh apa yang dilakukan Bican saat latihan.
Jika Real Madrid memiliki legenda Hungaria dalam diri Ferenc Puskas, maka Barcelona memiliki Ladislao Kubala.

Ladislao Kubala adalah seorang penyerang hebat dengan kekuatan tendangan yang menakutkan. Selain itu, ia juga handal dalam mengeksekusi tendangan bebas. Sebagai bukti kehebatannya, pada perayaan ulang tahun keseratus Barcelona di tahun 1999, Kubala terpilih sebagai pemain terbaik yang pernah membela panji Blaugrana.
Robin Friday

Robin Friday adalah pesepakbola asal Inggris yang terkenal berkat aksinya bersama Reading. Sebagai seorang pemain, Friday memiliki kemampuan yang komplet, yakni skill olah bola yang di atas rata-rata, memiliki kecerdasan, serta kuat secara fisik maupun mental. Sayang star-syndrome membuatnya terlena dengan minuman keras, kehidupan malam, rokok, dan obat-obatan terlarang.

Akibat kebiasaan buruknya itu, Friday sudah pensiun di usia 25 tahun dan pada akhirnya meninggal di usianya yang ke 28 tahun.
Silvio Piola

Silvio Piola adalah seorang pesepakbola asal Italia yang juga merupakan anggota Timnas Italia yang menjuarai Piala Dunia 1983.

Meski di eranya dulu Silvio Piola berstatus sebagai pemain bintang, ia tak sungkan merumput bersama Novara yang berada di Serie B. Kendati demikian, insting mencetak golnya masih tetap menakutkan. Selama berkarir di Serie A, Silvio Piola sudah mencetak total 275 gol dan sampai saat ini merupakan top skorer sepanjang masa Serie A.
Learn more »

Sejarah Hari Ini (11 November): Masih Ingat Maniche?

Anda masih ingat Maniche? Ya, mantan pesepakbola asal Portugal itu kini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-37.
Masih ingatkah Anda dengan pesepakbola bernama Maniche? Bagi Anda yang sudah menggemari sepakbola sejak periode awal milenium, pasti tak asing dengan sosok gelandang enerjik asal Portugal satu itu. 
Tepat pada hari ini, 11 November 2014, pemain yang gemar mengenakan bandana di kepalanya itu merayakan hari ulang tahunnya yang ke-37. Perjalanan hebatnya sebagai pesepakbola membuat dirinya masih sangat dicintai dan dikenang di Portugal.

Kisah Maniche bermula di tim junior Benfica pada musim 1995/96. Sempat dipinjamkan ke FC Alvercaselama tiga musim, pemain yang mengawali kariernya sebagai winger itu kemudian kembali ke klub induknya pada musim 1999/00.

Menjelma sebagai bintang tiga musim lamanya di Estadio Da Luz, pemain bernama asli Nuno Ricardo de Oliveira Ribeiro, kemudian dijuluki Maniche. Julukan itu merujuk pada permainannya yang mrip legenda As Aguias di periode 1980-an, Michael Manniche. Pada akhirnya julukan itu terus melekat dan jadi nama panggungnya di dunia sepakbola.

Karier Maniche kemudian mencapai puncaknya bersama FC Porto, yang mulai dibelanya sejak musim 2002/03. Manajer Do Dragaoes kala itu, Jose Mourinho, kemudian menggeser posisinya sebagai winger menjadi seorang gelandang tengah.

Hasilnya? Sungguh brilian, karena di musim perdananya Maniche jadi sosok sentral melejitnya Porto di liga domestik dan Eropa. Tak main-main karena kontribusi krusialnya, tim berjuluk Poristas itu sukses merengkuh empat gelar sekaligus, meliputi Piala Super Portugal, Piala Portugal, Liga Portugal, dan Piala UEFA.

Segalanya makin menjadi manakala Porto kembali diantarkannya panen gelar di musim selanjutnya, yakni 2003/04. Tim asuhan The Special One, meraih Piala Super Portugal, Liga Portugal, dan yang paling sensasional adalah Liga Champions, dengan membantai AS Monaco 3-0 di partai puncak.


                            Maniche jadi bagian dari skuat emas Porto di musim 2003/04

Kegemilangannya di level klub berlanjut ke tim nasional Portugal. Bersama rekannya di Porto, macam Jose Bosingwa, Costinha, dan Deco, ia bahu-membahu mengantarkan Seleccao tampil brilian di Euro 2004, yang digelar di negaranya sendiri. Sayangnya mereka kalah dari Yunani di partai puncak.

Maniche kemudian jadi salah satu pemain yang paling menonjol dalam turnamen tersebut. Ia mencetak dua gol, dan gol-nya dalam kemenangan 2-0 atas Belanda di babak semi-final, terpilih sebagai gol terbaik turnamen.

Performa puncaknya terus bertahan hingga pagelaran Piala Dunia 2006 di Jerman. Maniche sukses membawa Portugal keluar sebagai semi-finalis turnamen. Gol semata wayangnya (lagi-lagi) ke gawang Belanda, yang meloloskan tim asuhan Luiz Felipe Scolari ke babak perempat-final, juga bakal selalu dikenang.

Setelahnya performa Maniche terus meredup, hingga kerap berpindah klub dari Dynamo Moskow, Chelsea, Atletico Madrid, FC Internazionale FC Koln, hingga berakhir di Sporting Lisbon pada 6 Juli 2011, karena cedera yang tak kunjung sembuh.

Selepas gantung sepatu sebagai pesepakbola, kini Maniche disibukkan dengan peran barunya sebagai asisten pelatih di klub Pacos de Ferreira. Ia mendampingi mantan duet sehatinya di lini tengah, Costinha, yang menduduki jabatan sebagai pelatih.
 
MANICHE
Nama: Nuno Ricardo de Oliveira Ribeiro (Maniche)

Tempat, Tanggal Lahir: Lisabon, Portugal, 11 November 1977

Klub:


Benfica (1995-2002)
FC Porto (2002-2005)
Dynamo Moskow (2005-2006)
Chelsea (2006)
Atletico Madrid (2006-2009)
FC Internazionale (2008)
FC Koln (2009-2010)
Sporting Lisbon (2010-2011)

Caps Timnas Portugal: 53/7 gol
Koleksi Gelar

(FC Porto)

Piala Portugal: 1 (2002/03)
Piala Super Portugal: 2 (2002/03, 2003/04)
 Liga Portugal: 2 (2002/03, 2003/04)
Piala UEFA: 1 (2002/03)
Liga Champions: (2003/04)

(Chelsea)
Liga Primer Inggris: 1 (2005/06)

(FC Internazionale)
Scudetto Serie A Italia: 1 (2007/08)

Learn more »

Sejarah Hari Ini (27 September): Buon Compleanno, Francesco Totti!

Sejarah Hari Ini (27 September): Buon Compleanno, Francesco Totti!
Dalam rangka hari ulang tahun sang Pangeran Roma, Goal menyuguhkan sekelumit perjalanan kariernya di klub dan timnas.
Buon compleanno Francesco Totti!

Siapa tak kenal Totti? Pangeran Roma yang menghabiskan sepanjang kariernya di klub ibu kota dan kini memuncaki daftar top skor serta pemain dengan penampilan terbanyak sepanjang sejarah I Giallorossi.

Hari ini, Pangeran Roma merayakan ulang tahunnya ke-38 dan untuk menyambut hari spesial sang kapten, Goal Indonesia menyuguhkan sekelumit perjalanan karier Totti baik di level klub maupun timnas.

Totti lahir di Roma dari pasangan Lorenzo dan Fiorella Totti. Seperti anak-anak Roma lainnya, Totti kecil mengidolai mantan kapten I Giallorossi Giuseppe Giannini dan untuk mewujudkan impian menjadi pesepakbola profesional, Totti mulai masuk tim junior di usia delapan.

Bakatnya sudah terlihat sejak kecil bahkan AC Milan menawarkan dana besar untuk mendapatkannya. Namun, ibunya menolak demi tetap bisa menetap di kota kelahiran dan dia akhirnya gabung tim junior Roma pada 1989. Setelah tiga tahun di tim junior, Totti akhirnya melakoni debut di tim senior saat usianya 16, ketika pelatih Vujadin Boskov mengizinkannya tampil dalam kemenangan 2-0 melawan Brescia pada 28 Maret 1993.

Di usia yang masih relatif belia, 21, Totti sudah menjadi kapten pada 1998 dan mulai dianggap sebagai simbol klub. Zdenek Zeman termasuk pelatih yang berjasa dalam karier pemain bernomor punggung sepuluh, ditandai dengan torehan 30 gol dalam dua tahun kepelatihannya.

Sayang, meski mengukir karier gemilang di level klub, Totti tak masuk dalam skuat Italia untuk Piala Dunia 1998. Keputusan allenatore Cesare Prandelli tidak mengikutsertakan sang kapten ke Prancis pun dipertanyakan banyak pihak.



Musim 2000/2001 menjadi yang paling mengesankan buat Totti dan Roma. Pada 17 Juni 2001, tiket pertandingan antara Roma dan Parma di Stadio Olimpico ludes terjual. Antusiasme publik ibu kota Italia pun tak sia-sia, karena Roma sukses membekuk tamunya 3-1 berkat gol Totti, Vincenzo Montella dan Gabriel Batistuta sekaligus mengukuhkan tim sebagai kampiun Serie A.

Lalu pada 17 Juni 2001, Totti menyabet trofi Supercoppa Italiana pertama dengan turut mencetak gol dalam kemenangan 3-0 atas Fiorentina.

Gol demi gol terus ditorehkan Totti dan pada 19 Desember 2004 dia resmi menjadi top skor sepanjang masaI Giallorossi setelah mencetak gol ke-107 dalam kariernya melawan Parma, memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang Roberto Pruzzo.

Pada 24 Februari 2008 Totti menembus 386 penampilan di Serie A, menyamai rekor Giacomo Losi, kapten Roma di tahun 1960-an. Tapi dia akhirnya melewati rekor tersebut tiga hari kemudian, pada laga berikut melawan Internazionale untuk mengukuhkannya sebagai pemain dengan penampilan terbanyak di Serie A dalam sejarah Roma.

Setelah sempat meredup dalam beberapa tahun terakhir, Totti bangkit di bawah asuhan Rudi Garcia. Pemain 37 tahun memiliki andil besar dalam sukses serigala ibu kota finis runner-up di bawah Juventus musim lalu dan pada kampanye 2014/15 Totti diharapkan mampu membawa kejayaan menambah raihan trofi.

Karier internasional

Totti mendapat cap pertama untuk tim nasional Italia pada pertandingan kualifikasi Euro 2000 melawan Swiss, 10 Oktober 1998. Dua tahun kemudian, Er Pupone ikut serta dalam Euro 2000 dan mencetak dua gol sepanjang turnamen, sayang Gli Azzurri kalah dari Prancis di partai puncak lewat drama golden goal.

Setelah namanya harum di turnamen mayor pertama, Totti justru gagal memberikan kemampuan terbaik di dua pagelaran berikutnya. Di Piala Dunia 2002 dia diusir keluar lapangan saat tim kalah dari Korea Selatan, setelah mendapat kartu kuning kedua dari Byron Moreno karena dianggap melakukan diving di kotak penalti. Lalu pada Euro 2004, Totti kembali menimbulkan kontroversi dengan meludahi gelandang Denmark Christian Poulsen dan menerima sanksi hingga babak semi-final. Namun Il Gladiatore tak mendapat kesempatan tampil lagi karena langkah Italia terhenti di putaran pertama.

Persiapan La Nazionale menuju Piala Dunia 2006 diganggu oleh kabar cedera fibula dan ligamen yang dialami Totti. Tapi beruntung dia pulih tepat waktu dan gabung dengan tim meski tidak banyak latihan dalam tiga bulan terakhir karena memulihkan cedera.



Pelatih timnas ketika itu, Marcello Lippi, memberikan dukungan penuh kepada Totti dan dia berhasil memainkan seluruh laga di Jerman dengan metal plates pada engkelnya yang belum diangkat. Totti, bersama kompatriotnya, Andrea Pirlo, menyudahi turnamen dengan assist terbanyak dan mencetak gol penalti di pengujung laga dalam kemenangan 1-0 atas Australia di babak 16 besar.

Berkat konsistensi penampilannya di turnamen, Totti sukses membawa Italia juara dunia untuk keempat kali dan masuk dalam All-Star Team. Usai merebut Piala Dunia, Totti mengumumkan pensiun dari timnas pada 20 Juli 2007.

 
FRANCESCO TOTTI

Nama lengkap: Francesco Totti

Tempat, tanggal lahir: Roma, Italia, 27 September 1976

Karier pemain:
 - AS Roma (1992-sekarang)

Timnas: Italia (58 caps/9 gol)

 
Koleksi Gelar:
Klub

Serie A 2000/01
    Supercoppa Italiana 2001, 2007
Coppa Italia 2006/07, 2007/08

Timnas
Euro U-21 1996
Piala Dunia 2006


Learn more »