PROFIL: Sergio Ramos, Pangeran Andalusia Yang Bertakhta Di Madrid
Learn more »
![]() | |||
Tepat 40 tahun lalu lahir salah satu bakat terbaik dalam sejarah sepakbola Chili bernama Marcelo Salas.
Anda masih ingat Marcelo Salas? Ya, ketika beberapa di antara Anda selalu mengidentikan sepakbola Chili dengan Ivan Zamorano, maka sebagian lainnya akan menyebut nama Salas. Sosok striker dengan kecepatan dan tembakan luar biasa itu merupakan salah satu legenda terbesar Land of Poets.
Tak terasa karena kini sosok berjuluk El Matador itu genap merayakan hari jadinya yang ke-40 tahun. Deretan cerita pahit dan manis di dunia sepakbola yang mencuatkan namanya pun lekat mengiringi. Melakoni debut profesional pada 4 Januari 1994, Salas kemudian jadi bintang di klub tersukses Chili itu dengan mempersembahkan sepasang gelar juara Liga Primer Chili. Berkat kegemilangannya, nama Salas lantas terkenal di seantero Amerika Selatan. Klub legendaris asal Argentina, River Plate, kepincut dan memboyongnya pada 1996 dengan banderol €2,7 juta. Kepindahannya dikritisi karena River dinilai sudah memiliki sosok striker pembunuh dalam diri Julio Ricardo Cruz. Selain itu legenda Tango, Diego Maradona, juga mengecamnya karena lebih memilih sang rival ketimbang Boca Juniors, sebagai klub pertama yang melempar tawaran. Namun Salas membungkam segala hujatan dengan prestasi. Dalam dua musim ia tampil 67 kali lewat torehan 31 gol. Catatan itu sudah cukup mengantarkan Los Millionarios mencomot gelar juara Clausura 1997, Arpetura 1997, dan Supercopa Sudamericana 1997. Salas mencapai puncak karier bersama Lazio Berkat torehannya, Salas pun jadi langganan timnas Chili sejak memulai debut pada 1994. Namanya lantas disertakan sang pelatih, Nelson Acosta, pada Piala Dunia 1998. Salas tampil sensasional dalam turnamen akbar tersebut. Ia sukses mengantarkan La Roja ke babak perdelapan-final dengan torehan empat gol dari jumlah partai yang identik. Dunia kemudian mengenalnya, termasuk manajer Manchester United kala itu, Sir Alex Ferguson. Salas jadi sosok paling laris di lantai transfer musim panas 1998 dan terus dihubungkan dengan kubu Setan Merah. Namun jelang kepergiannya ke Old Trafford, Lazio datang lewat tawaran mencengangkan, sebesar €17,5 juta. Bisa ditebak, Shileno pun terbang ke Roma dan mencapai puncak kariernya. Lebih dikenal sebagai sosok supersub, Salas panen gelar bersama Gli Aquilotti dengan enam gelar, meliputi Serie A Italia, Piala Italia, dua Piala Super Italia, Piala Winners, dan Piala Super Eropa. Khusus untuk gelar yang disebut terakhir, Salas jadi sosok paling dikenang seluruh Laziale berkat gol semata wayangnya ke gawang Manchester United. Malang melintang di Lazio, pada musim panas 2001 Salas kemudian mencatatkan rekor sebagai pemain termahal Chili dengan kepindahannya ke Juventus, lewat banderol €25 juta. Namun justru di Turin-lah masa terburuk di sepanjang karier penyuka sepatu hitam itu hadir. Cedera ligamen merenggut tempatnya dari skuat utama. Bertahan selama dua musim, Salas hanya mampu tampil 26 kali dengan torehan empat gol. Kegagalannya saat mengeksekusi penalti dalam Derby della Mole di musim 2001/02, jadi momen paling dikenang Juventini ketika menyebut nama "Salas". Salas kemudian kembali ke River Plate untuk mengulang masa jayanya. Sayang, ligamen kembali jadi hambatan utamanya. "Saya sungguh sedih karena kini jadi pemain yang rentan cedera. Mungkin masalah ini bisa membuat saya pensiun dini," ungkap Salas, sebelum memutuskan balik ke klub profesional pertamanya, Universidad de Chile, pada 2005. Spekulasi terus berkembang akan keputusan Salas gantung sepatu, yang akhirnya jadi kenyataan pada 2008. Salas pensiun di usia yang relatif muda, 33 tahun. Ia memainkan laga eksebisinya di Chili pada 2 Juni 2009, dengan menghadiri eks rekannya di timnas Chili Piala Dunia 1998, Universidad de Chili, River Plate, Lazio, dan Juventus. Kebesaran El Matador tergambar nyata dengan kehadiran 50 ribu penonton dalam laga perpisahannya tersebut.
|
![]() |
1983 jadi tahun di mana Michel Platini mematri namanya sebagai salah satu pesepakbola terhebat sepanjang sejarah. Musim1982/83, jadi momen titik balik seorang pesepakbola legendaris bernama Michel Platini. Saat itu dirinya datang ke liga terbaik di dunia, Serie A Italia, bersama Juventus. Anak emas dari AS Saint Etienne tersebut kemudian diproyeksikan sebagai pengganti sepadan Roberto Bettega yang sudah menua. Platini bergabung dengan komplotan juara dunia, yang baru saja mengantarkan timnas Italia ke puncak pada 1982. Sebut saja nama Dino Zoff, Marco Tardelli, hingga Paolo Rossi. Tanpa disangka, jika kondisi itu membuat Si No. 10 tak percaya diri. Imbasnya ada pada performa di awal musim yang begitu tak meyakinkan. Di usia emasnya, 27 tahun, Platini dinilai tak ada setengahnya dari Bettega yang sudah menginjak usia 32 tahun. Publik dan media Negeri Pizza seketika memusuhinya hingga membuat si anak baru gerah dan meminta manajemen menjualnya di bursa musim dingin. Beruntungnya Platini tak sampai hengkang. Pelatih, Giovanni Trapattoni, terus memasangnya di starting XIdan amat jarang menggantikan perannya. Sementara sang presiden, Gianpiero Boniperti, juga tak lelah membujuknya nyaris setiap hari, dengan mengajaknya makan siang pasca latihan. Hasilnya? Platini pun memutuskan untuk melanjutkan kiprahnya di Turin, selepas jeda musim dingin. Platini nyaris hengkang di musim perdananya bersama Juventus Kepercayaan dirinya meningkat dan dampaknya bagi tim sungguh besar. Juve yang terdampar di peringkat kelima pada paruh musim pertama, dibawanya melesat sebagai runner-up Serie A. Kemudian trofi pertama juga ia persembahkan melalui Coppa Italia. Hebatnya Platini jadi top skor masing-masing ajang, dengan 16 dan tujuh gol. Satu-satunya penyesalan adalah kegagalan Michel The King meraih gelar Piala Champions 1982/83, setelah kalah dari Hamburg SV di partai final. Namun apa yang sudah dicatatkan Platini di sepanjang musim itu, tetap membuat publik dunia enggan berpaling darinya. Pada akhir 27 Desember 1983, majalah terkemuka sepakbola, France Football, dengan bangga menganugerahi pemain asal negaranya sendiri itu lewat gelar Ballon d'Or. Platini mendapat dukungan sebesar 110 suara, yang dipilih oleh perwakilan jurnalis olahraga dari 26 negara yang bernaung di bawah bendera Benua Eropa. Ia unggul telak atas sang runner-up sekaligus bintang Liverpool, Kenny Dalglish (26 suara), dan Allan Simonsen (25 suara) yang berada di peringkat ketiga. Patut diketahui jika secara format, pengumpulan suara dalam sistem masa lampau diklasifikasikan berdasarkan tempat: Posisi pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Gordon Strachan (24 suara) dan Super Hero Piala Champions, Felix Magath (20 suara), sendiri kemudian menyusul di posisi keempat dan kelima. Pada akhirnya performa Platini terus memuncak. Playmaker and Solist, lantas sukses mengikuti jejak hat-trick Ballon d'Or Johan Cruyff, dengan meraihnya kembali di tahun 1984 dan 1985. Kini, catatan hat-trick sang legenda yang juga presiden UEFA sudah sukses dilampaui. Adalah Lionel Messi, yang bersama Barcelona-nya sukses membuat quat-trick Ballon d'Or secara konsekutif -- 2009, 2010, 2011 dan 2012. |
![]() |
Jorge 'Magico' Gonzalez Pesepakbola asal El Salvador ini memiliki nama lengkap Jorge Alberto Gonzalez Barillas. Kemampuan olah bolanya sangat luar biasa hingga dirinya mendapat julukan Magico Gonzalez (Gonzalez sang Penyihir). Sepak terjangnya yang paling terkenal adalah bersama klub asal Spanyol, Cadiz. Bagaimana tidak, Gonzalez nyaris seorang diri membawa tim tersebut promosi dari Segunda Division ke La Liga. Performanya yang paling spektakuler adalah saat mengiring bola dari tengah lapangan sebelum melewati 3 pemain Barcelona dan mencetak gol. Sayang kegemaran Gonzalez meneggak minuman keras dan memakai obat-obatan terlarang telah menghancurkan karirnya. |
![]() |
Josef Bican Jika saat ini ada Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi yang torehan golnya melebihi jumlah penampilannya, maka di era 30'an ada sosok legendaris, Josef Bican yang melakukannya. Bican yang merupakan pesepakbola keturunan Austria terkenal dengan sepak terjangnya bersama Rapid Vienna dan Slavia Prague. Sepanjang berkarir secara profesional, almarhum Josef Bican sudah mencetak lebih dari 800 gol. Bahkan rumornya, saking hebatnya Bican, ia tidak ikut berlatih bersama rekan-rekannya yang lain, melainkan rekan-rekannya yang menyaksikan dan mencontoh apa yang dilakukan Bican saat latihan. |
![]() |
Jika Real Madrid memiliki legenda Hungaria dalam diri Ferenc Puskas, maka Barcelona memiliki Ladislao Kubala. Ladislao Kubala adalah seorang penyerang hebat dengan kekuatan tendangan yang menakutkan. Selain itu, ia juga handal dalam mengeksekusi tendangan bebas. Sebagai bukti kehebatannya, pada perayaan ulang tahun keseratus Barcelona di tahun 1999, Kubala terpilih sebagai pemain terbaik yang pernah membela panji Blaugrana. |
![]() |
Robin Friday Robin Friday adalah pesepakbola asal Inggris yang terkenal berkat aksinya bersama Reading. Sebagai seorang pemain, Friday memiliki kemampuan yang komplet, yakni skill olah bola yang di atas rata-rata, memiliki kecerdasan, serta kuat secara fisik maupun mental. Sayang star-syndrome membuatnya terlena dengan minuman keras, kehidupan malam, rokok, dan obat-obatan terlarang. Akibat kebiasaan buruknya itu, Friday sudah pensiun di usia 25 tahun dan pada akhirnya meninggal di usianya yang ke 28 tahun. |
![]() |
Silvio Piola Silvio Piola adalah seorang pesepakbola asal Italia yang juga merupakan anggota Timnas Italia yang menjuarai Piala Dunia 1983. Meski di eranya dulu Silvio Piola berstatus sebagai pemain bintang, ia tak sungkan merumput bersama Novara yang berada di Serie B. Kendati demikian, insting mencetak golnya masih tetap menakutkan. Selama berkarir di Serie A, Silvio Piola sudah mencetak total 275 gol dan sampai saat ini merupakan top skorer sepanjang masa Serie A. |
![]() | |||
Anda masih ingat Maniche? Ya, mantan pesepakbola asal Portugal itu kini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-37.
Masih ingatkah Anda dengan pesepakbola bernama Maniche? Bagi Anda yang sudah menggemari sepakbola sejak periode awal milenium, pasti tak asing dengan sosok gelandang enerjik asal Portugal satu itu.
Tepat pada hari ini, 11 November 2014, pemain yang gemar mengenakan bandana di kepalanya itu merayakan hari ulang tahunnya yang ke-37. Perjalanan hebatnya sebagai pesepakbola membuat dirinya masih sangat dicintai dan dikenang di Portugal.
Kisah Maniche bermula di tim junior Benfica pada musim 1995/96. Sempat dipinjamkan ke FC Alvercaselama tiga musim, pemain yang mengawali kariernya sebagai winger itu kemudian kembali ke klub induknya pada musim 1999/00. Menjelma sebagai bintang tiga musim lamanya di Estadio Da Luz, pemain bernama asli Nuno Ricardo de Oliveira Ribeiro, kemudian dijuluki Maniche. Julukan itu merujuk pada permainannya yang mrip legenda As Aguias di periode 1980-an, Michael Manniche. Pada akhirnya julukan itu terus melekat dan jadi nama panggungnya di dunia sepakbola. Karier Maniche kemudian mencapai puncaknya bersama FC Porto, yang mulai dibelanya sejak musim 2002/03. Manajer Do Dragaoes kala itu, Jose Mourinho, kemudian menggeser posisinya sebagai winger menjadi seorang gelandang tengah. Hasilnya? Sungguh brilian, karena di musim perdananya Maniche jadi sosok sentral melejitnya Porto di liga domestik dan Eropa. Tak main-main karena kontribusi krusialnya, tim berjuluk Poristas itu sukses merengkuh empat gelar sekaligus, meliputi Piala Super Portugal, Piala Portugal, Liga Portugal, dan Piala UEFA. Segalanya makin menjadi manakala Porto kembali diantarkannya panen gelar di musim selanjutnya, yakni 2003/04. Tim asuhan The Special One, meraih Piala Super Portugal, Liga Portugal, dan yang paling sensasional adalah Liga Champions, dengan membantai AS Monaco 3-0 di partai puncak. Maniche jadi bagian dari skuat emas Porto di musim 2003/04 Kegemilangannya di level klub berlanjut ke tim nasional Portugal. Bersama rekannya di Porto, macam Jose Bosingwa, Costinha, dan Deco, ia bahu-membahu mengantarkan Seleccao tampil brilian di Euro 2004, yang digelar di negaranya sendiri. Sayangnya mereka kalah dari Yunani di partai puncak. Maniche kemudian jadi salah satu pemain yang paling menonjol dalam turnamen tersebut. Ia mencetak dua gol, dan gol-nya dalam kemenangan 2-0 atas Belanda di babak semi-final, terpilih sebagai gol terbaik turnamen. Performa puncaknya terus bertahan hingga pagelaran Piala Dunia 2006 di Jerman. Maniche sukses membawa Portugal keluar sebagai semi-finalis turnamen. Gol semata wayangnya (lagi-lagi) ke gawang Belanda, yang meloloskan tim asuhan Luiz Felipe Scolari ke babak perempat-final, juga bakal selalu dikenang. Setelahnya performa Maniche terus meredup, hingga kerap berpindah klub dari Dynamo Moskow, Chelsea, Atletico Madrid, FC Internazionale FC Koln, hingga berakhir di Sporting Lisbon pada 6 Juli 2011, karena cedera yang tak kunjung sembuh. Selepas gantung sepatu sebagai pesepakbola, kini Maniche disibukkan dengan peran barunya sebagai asisten pelatih di klub Pacos de Ferreira. Ia mendampingi mantan duet sehatinya di lini tengah, Costinha, yang menduduki jabatan sebagai pelatih.
|
Dalam rangka hari ulang tahun sang Pangeran Roma, Goal menyuguhkan sekelumit perjalanan kariernya di klub dan timnas. Buon compleanno Francesco Totti! Siapa tak kenal Totti? Pangeran Roma yang menghabiskan sepanjang kariernya di klub ibu kota dan kini memuncaki daftar top skor serta pemain dengan penampilan terbanyak sepanjang sejarah I Giallorossi. Hari ini, Pangeran Roma merayakan ulang tahunnya ke-38 dan untuk menyambut hari spesial sang kapten, Goal Indonesia menyuguhkan sekelumit perjalanan karier Totti baik di level klub maupun timnas. Totti lahir di Roma dari pasangan Lorenzo dan Fiorella Totti. Seperti anak-anak Roma lainnya, Totti kecil mengidolai mantan kapten I Giallorossi Giuseppe Giannini dan untuk mewujudkan impian menjadi pesepakbola profesional, Totti mulai masuk tim junior di usia delapan. Bakatnya sudah terlihat sejak kecil bahkan AC Milan menawarkan dana besar untuk mendapatkannya. Namun, ibunya menolak demi tetap bisa menetap di kota kelahiran dan dia akhirnya gabung tim junior Roma pada 1989. Setelah tiga tahun di tim junior, Totti akhirnya melakoni debut di tim senior saat usianya 16, ketika pelatih Vujadin Boskov mengizinkannya tampil dalam kemenangan 2-0 melawan Brescia pada 28 Maret 1993. Di usia yang masih relatif belia, 21, Totti sudah menjadi kapten pada 1998 dan mulai dianggap sebagai simbol klub. Zdenek Zeman termasuk pelatih yang berjasa dalam karier pemain bernomor punggung sepuluh, ditandai dengan torehan 30 gol dalam dua tahun kepelatihannya. Sayang, meski mengukir karier gemilang di level klub, Totti tak masuk dalam skuat Italia untuk Piala Dunia 1998. Keputusan allenatore Cesare Prandelli tidak mengikutsertakan sang kapten ke Prancis pun dipertanyakan banyak pihak. Musim 2000/2001 menjadi yang paling mengesankan buat Totti dan Roma. Pada 17 Juni 2001, tiket pertandingan antara Roma dan Parma di Stadio Olimpico ludes terjual. Antusiasme publik ibu kota Italia pun tak sia-sia, karena Roma sukses membekuk tamunya 3-1 berkat gol Totti, Vincenzo Montella dan Gabriel Batistuta sekaligus mengukuhkan tim sebagai kampiun Serie A. Lalu pada 17 Juni 2001, Totti menyabet trofi Supercoppa Italiana pertama dengan turut mencetak gol dalam kemenangan 3-0 atas Fiorentina. Gol demi gol terus ditorehkan Totti dan pada 19 Desember 2004 dia resmi menjadi top skor sepanjang masaI Giallorossi setelah mencetak gol ke-107 dalam kariernya melawan Parma, memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang Roberto Pruzzo. Pada 24 Februari 2008 Totti menembus 386 penampilan di Serie A, menyamai rekor Giacomo Losi, kapten Roma di tahun 1960-an. Tapi dia akhirnya melewati rekor tersebut tiga hari kemudian, pada laga berikut melawan Internazionale untuk mengukuhkannya sebagai pemain dengan penampilan terbanyak di Serie A dalam sejarah Roma. Setelah sempat meredup dalam beberapa tahun terakhir, Totti bangkit di bawah asuhan Rudi Garcia. Pemain 37 tahun memiliki andil besar dalam sukses serigala ibu kota finis runner-up di bawah Juventus musim lalu dan pada kampanye 2014/15 Totti diharapkan mampu membawa kejayaan menambah raihan trofi. Karier internasional Totti mendapat cap pertama untuk tim nasional Italia pada pertandingan kualifikasi Euro 2000 melawan Swiss, 10 Oktober 1998. Dua tahun kemudian, Er Pupone ikut serta dalam Euro 2000 dan mencetak dua gol sepanjang turnamen, sayang Gli Azzurri kalah dari Prancis di partai puncak lewat drama golden goal. Setelah namanya harum di turnamen mayor pertama, Totti justru gagal memberikan kemampuan terbaik di dua pagelaran berikutnya. Di Piala Dunia 2002 dia diusir keluar lapangan saat tim kalah dari Korea Selatan, setelah mendapat kartu kuning kedua dari Byron Moreno karena dianggap melakukan diving di kotak penalti. Lalu pada Euro 2004, Totti kembali menimbulkan kontroversi dengan meludahi gelandang Denmark Christian Poulsen dan menerima sanksi hingga babak semi-final. Namun Il Gladiatore tak mendapat kesempatan tampil lagi karena langkah Italia terhenti di putaran pertama. Persiapan La Nazionale menuju Piala Dunia 2006 diganggu oleh kabar cedera fibula dan ligamen yang dialami Totti. Tapi beruntung dia pulih tepat waktu dan gabung dengan tim meski tidak banyak latihan dalam tiga bulan terakhir karena memulihkan cedera. Pelatih timnas ketika itu, Marcello Lippi, memberikan dukungan penuh kepada Totti dan dia berhasil memainkan seluruh laga di Jerman dengan metal plates pada engkelnya yang belum diangkat. Totti, bersama kompatriotnya, Andrea Pirlo, menyudahi turnamen dengan assist terbanyak dan mencetak gol penalti di pengujung laga dalam kemenangan 1-0 atas Australia di babak 16 besar. Berkat konsistensi penampilannya di turnamen, Totti sukses membawa Italia juara dunia untuk keempat kali dan masuk dalam All-Star Team. Usai merebut Piala Dunia, Totti mengumumkan pensiun dari timnas pada 20 Juli 2007.
|
Copyright © 2013 this my world and Blogger Templates