Feature news

Tampilkan postingan dengan label sejarah indonesia hatta. Tampilkan semua postingan

Kemerdekaan, Kado Ulang Tahun Hatta

Kalau pun Sukarno-Hatta tidak dilarikan ke Rengasdengklok, proklamasi kemerdekaan tetap akan terjadi pada 16 Agustus 1945.
JENDERAL Terauchi, panglima angkatan perang Jepang di Asia Tenggara, bertemu dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat di Dalat, Vietnam, pada 12 Agustus 1945. Dia menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk menyerahkan soal kemerdekaan Indonesia kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
“Tuan-tuanlah melaksanakannya dan terserah kepada tuan-tuan sepenuhnya menentukan pelaksanaannya,” kata Terauchi.
“Kalau seminggu lagi kami laksanakan apa bisa?” tanya Sukarno.
“Terserah kepada tuan-tuan,” jawab Terauchi.
Hatta gembira luar biasa. Sebab, tanggal 12 Agustus hari ulangtahunnya. “Dalam hati kecilku aku menganggap kemerdekaan Indonesia itu sebagai hadiah jasaku sekian tahun lamanya untuk kemerdekaan Indonesia,” kata Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku Jilid 3.
Sekembalinya ke Indonesia, mereka mendapatkan ucapan selamat dari Gunseikan (kepala pemerintah militer) Jenderal Yamamoto dan pejabat tinggi Jepang lainnya.
Setelah itu, Sutan Sjahrir, yang telah mengetahui kekalahan Jepang, meminta Sukarno mengumumkan kemerdekaan tanpa melalui badan bentukan Jepang, PPKI. Sukarno menolak karena dia tak mau mengambil kesempatan sendiri tanpa bersama-sama anggota PPKI. Begitu pula ketika Wikana mendesak agar proklamasi dinyatakan malam tanggal 15 Agustus dan menyatakan tidak mau proklamasi dilaksanakan PPKI karena bentukan Jepang.
Hatta menegaskan, kalau PPKI dianggap buatan Jepang serta Sukarno-Hatta dan pemimpin lain bekerjasama dengan Jepang, carilah orang lain yang belum pernah bekerjasama dengan Jepang untuk memproklamasikan kemerdekaan. “Dan kami akan berdiri di belakang mereka,” kata Hatta. “Tetapi pemuda-pemuda itu maunya Bung Karno juga.”
Sukarno sebagai ketua PPKI dan Hatta sebagai wakilnya memerintahkan Ahmad Soebardjo untuk memanggil semua anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes untuk rapat pada 16 Agustus 1945 pagi di Gedung Pejambon (sekarang Gedung Pancasila). Semua anggota PPKI pun hadir Gedung Pejambon, sementara Sukarno-Hatta tidak.
“Jadi tidak benar, bahwa rapat itu dilarang oleh Jepang. Hanya waktu itu rapat tidak bisa berjalan karena kami berdua tidak hadir, karena pagi-pagi subuh hari itu kami dibawa ke Rengasdengklok. Dan kalaulah pagi itu kami tidak dibawa dan rapat terus berlangsung tentunya proklamasi itu telah terjadi hari itu (16 Agustus 1945),” kata Hatta dalam Bung Hatta Menjawab.
Somubuco (kepala departemen urusan umum) Mayor Jenderal Nishimura melarang rapat PPKI karena mulai pukul 13.00 tanggal 16 Agustus 1945, Jepang diperintahkan Sekutu untuk menjagastatus quo.
Sukarno-Hatta menyatakan dengan agak keras: “Tuan ‘kan orang samurai. Jenderal Terauchi di Dalat telah menyerahkan. Bagaimana dengan sumpah dan janji samurai tuan kepada kami.”
“Ya,” kata Nishimura, “kita berada dalam keadaan yang lain sekarang.”
Sukarno-Hatta bersikeras akan melaksanakan rapat PPKI. Hotel Des Indes tak memberi izin karena sesuai peraturan Jepang sejak awal pendudukan, rapat tidak boleh dilaksanakan lewat pukul 22.00.
Akhirnya, Laksamana Maeda, kepala penghubung Angkatan Laut Jepang yang bersimpati pada perjuangan Indonesia, meminjamkan rumahnya di Jalan Myakodori (dulu Jalan Orange Nassau Boulevard). 21 anggota PPKI dan beberapa pemuda hadir di rumah tersebut. Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo merumuskan proklamasi di rumah yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1 Menteng Jakarta. Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus pukul 10.00, Sukarno membacakan proklamasi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Learn more »

Cinta Hatta Bersyarat Merdeka

Mohammad Hatta berjanji baru akan menikah setelah Indonesia merdeka.
KETIKA menjadi mahasiswa di Belanda, Mohammad Hatta selalu serius belajar. Sekalipun banyak mahasiswi mengaguminya, dia tak menunjukkan ketertarikan. Penasaran, kawan-kawannya menyuruh seorang mahasiswa Polandia yang cantik untuk menggodanya tapi tak berhasil.
Halida Hatta, putri bungsu Hatta, ini karena ayahnya ingin menyelesaikan studi dengan baik sebagai modal dasar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” ujar Halida.
Dan selama Indonesia belum merdeka, Hatta berjanji tak akan menikah.
Namun, menurut Mavis Rose, Hatta sempat menaklukkan hati gadis cantik bernama Anni, anak Tengku Nurdin, seorang pengalihbahasa pemerintahan Aceh. Perekatnya bukan cinta romantis tapi semangat nasionalis –Anni adalah aktivis perempuan, pernah menjadi prasaran dalam Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung. Bahkan keduanya sudah bertunangan. “Namun romansa ini tak berlanjut ke jenjang pernikahan,” tulis Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta..
Anni kemudian menikah dengan Abdul Rachim, kawan dekat Bung Karno, dan memiliki dua putri: Rachmi dan Titi.
Setelah Indonesia merdeka, Hatta akhirnya menentukan gadis pilihannya. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” ujar Sukarno kepada R. Soeharto, dikutip Saksi Sejarah. “Setelah saya selidiki ternyata gadis pilihan Hatta itu Rahmi, putri keluarga Rachim.”
Di tengah malam, ditemani R. Soeharto, Sukarno mendatangi rumah keluarga Rachim dan melamar Rahmi untuk Hatta.
Pada 18 November 1945, Hatta menikahi Rahmi di sebuah villa di Megamendung, Bogor. Sebagai mas kawin, Hatta memberikan buku yang ditulisnya saat dibuang di Digul pada 1934, Alam Pikiran Yunani.
“Apakah Hatta melihat sifat Rahmi Rachim yang sebelumnya begitu dia kagumi pada diri ibunya, dia tidak menyebutkan,” tulis Mavis. “Bahkan, dalam memoar Hatta pernikahannya hanya ditandai dengan sebuah foto pasangan pengantin.”
Halida menyebut Mavis Rose salah kaprah. Menurutnya, Anni bertemu kali pertama dengan Hatta pada 1945 ketika Sukarno datang melamar Rahmi untuk Hatta. “Karena Bung Hatta dan nenek saya (mertua Hatta) beda usia cuma sembilan hari, maka keluarlah cerita seperti itu,” kata Halida.
Sebagai pasangan, Hatta tentu saja kerap menunjukkan sisi romantis. Ketika istrinya hendak melahirkan anak pertama, Hatta masuk ke kamar bersalin dengan membawa sandwich buatannya. Hatta juga selalu memberikan tempat di dalam mobil yang bebas dari terpaan sinar matahari kepada istrinya ketika bepergian. Namun, di depan anak-anaknya, “mereka tak memperlihatkan bahasa tubuh yang romantis,” kata Halida.
Hatta juga punya perhatian terhadap fisik istrinya. Tak suka istrinya menjadi gemuk, dia pernah meminta Raharti Subijakto, adik Rahmi, untuk mengingatkan kakaknya. “Dalam pemikiran Bung Hatta,” kata Halida, “pembicaraan akrab di antara dua orang saudara perempuan akan melunakkan sensitivitas isu kegemukan.”
Selama mengarungi biduk rumah tangga, hidup mereka aman-tenteram dengan dikaruniai tiga anak perempuan.
Meski terpaut usia 24 tahun, Rahmi bahagia dan setia mendampingi Hatta. “Setiap kesempatan yang kami jalani bersama terasa indah dan berharga, seperti serangkaian permata yang berharga,” kata Rahmi.
Learn more »