Feature news

Tampilkan postingan dengan label sejarah sepak bola. Tampilkan semua postingan

Bobby Charlton: Ksatria yang Memimpin Inggris Juara Piala Dunia 1966


Getty Images/Evening StandardGetty Images/Evening Standard
Sir Bobby Charlton merupakan sosok penting untuk sepak bola dan timnas Inggris. Dialah aktor utama dalam raihan gelar juara Piala Dunia 1966 yang hingga kini merupakan satu-satunya trofi juara dunia bagi Inggris.
Bakat besar Charlton sudah diendus pemandu bakat sejak kecil dan sudah digadang-gadang sebagai salah satu pemain muda paling berbakat di Inggris.
Penampilan perdananya bagi skuat The Three Lions ketika dia dipanggil masuk timnas melawan Skotlandia di Hampden Park pada 19 April 1958, hanya dua bulan setelah dia selamat dari tragedi Munich yang menimpa Manchester United. Pemain bernama lengkap Robert Charlton tersebut berhasil mencetak satu gol melalui tendangan voli hasil umpan Tom Finney. Pertandingan keduanya melawan Portugal dalam laga persahabatan dihiasi dengan memborong dua gol dalam kemenangan 2-1 di Wembley. Hanya saja di penampilan ketiganya melawan Yugoslavia di Belgrade, Charlton gagal tampil baik dan membuat timnya menyerah 5-0 dari sang tuan rumah.
Pemain kelahiran Ashington, 11 Oktober 1937, ini kemudian masuk skuat Piala Dunia 1958 tetapi tidak tampil sekali pun. Empat tahun kemudian Charlton kembali bermain untuk negaranya di Piala Dunia Cile. Penampilan gemilangnya membawa Inggris menang 3-1 atas Argentina. Charlton menyumbang satu gol yang merupakan catatan ke-25 atas namanya bagi timnas dari 38 penampilan. Ketika itu usianya baru 24 tahun, masih cukup muda. Sayang, Brasil yang kemudian keluar jadi juara mengkandaskan perjuangan Inggris di perempat final.
Puncak penampilan Bobby Charlton bagi timnas terjadi pada Piala Dunia 1966 ketika kompetisi paling akbar di dunia tersebut dihelat di negeri Ratu Elizabeth itu. Setelah bermain tanpa gol melawan Uruguay di pertandingan pertama, Charlton yang merupakan didikan akademi Manchester United menginspirasi kemenangan 2-0 atas Meksiko melalui gol yang dicetaknya di menit 37. Roger Hunt melengkapi dengan golnya di menit 75. Di pertandingan terakhir, dua gol Roger Hunt mengkandaskan perlawanan Prancis 2-0.
Inggris pun melaju ke babak perempat final dan bertemu Argentina. Pertandingan dimenangi anak asuh Alf Ramsey berkat gol tunggal Geoff Hurst. Meski tak mencetak gol Charlton memainkan peran pentingnya sebagai pengatur serangan.
Di semi final menghadapi Portugal lah yang diingat sebagai salah satu pertandingan paling penting pemain yang sempat membela Preston North End ini untuk negaranya. Charlton mencetak dua gol kemenangan 2-1 atas Portugal. Gol pertamanya memanfaatkan kreasi Hunt sementara yang kedua berkat kerjasamanya dengan Hurst.
Di final, meski tak mencetak gol, Charlton benar-benar berperan penting. Duelnya dengan bintang Jerman yang lebih muda, Franz Beckenbauer, menarik disimak dalam pertandingan final Piala Dunia terakhir yang disiarkan hitam-putih. Keduanya saling menjaga sepanjang pertandingan. Berkat pengalamannya yang lebih matang, Charlton berhasil membawa Inggris unggul 4-2 atas Jerman setelah melewati babak perpanjangan waktu.
Inggris pun menjadi juara Piala Dunia untuk pertama kalinya dan satu-satunya hingga kini. Trofi Jules Rimet itu juga menjadi satu-satunya major trophy yang pernah diraih oleh Inggris lantaran negara yang kerap membanggakan diri sebagai negara asal sepak bola ini belum pernah menjuarai Piala Eropa. Selain Piala Dunia, Charlton mempersembahkan sepuluh kali British Home Championship dan satu medali perunggu Euro 1968.
AFP PhotoAFP Photo
Berkat menjuarai Piala Dunia tersebut, Charlton memenangi penghargaan European Footballer of the Year 1966. Secara keseluruhan bersama The Tree Lions Charlton bermain sebanyak 106 kali dengan torehan 49 gol. Berkat pengabdiannya bagi sepak bola Inggris, tak salah jika kerajaan memberinya penghargaan sebagai ksatria sehingga membuatnya berhak menyandang gelar “Sir” di depan namanya. Khalayak pun kerap memanggilnya dengan sebutan “Sir Bobby”.
Kiprah Gemilang di Manchester United
Kegemilangan Sir Bobby Charlton ini juga dia torehkan di level klub. Tentunya bersama klub yang mendidiknya sejak masih remaja, Manchester United.
Tujuh belas tahun bermain untuk United, Bobby Charlton menorehkan sejarah hebat baik bagi klub maupun dirinya pribadi. Namanya hingga kini tercatat sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Setan Merah dengan 249 gol dari 758 pertandingan. Hanya Ryan Giggs yang mempunyai jumlah pertandingan lebih banyak dari dirinya.
Pria bertinggi 173 cm ini merupakan salah satu pemain paling penting United di era keemasaan Sir Matt Busby. Meraih juara liga tiga kali (1957, 1965, 1967), Piala FA 1963, dan yang paling bergengsi, European Cup di tahun 1968.
Pemain yang sempat menimba ilmu sepak bola di East Northumberland Schools ini mulai bergabung di tim junior Setan Merah tahun 1953 hingga 1956 saat akhirnya membuat debut pertamanya bersama United melawan Charlton Athletic. Sir Bobby biasa bermain sebagai gelandang serang, tapi kerap pula menjadi penyerang. Kedua kakinya sama baiknya dengan kemampuan bertahan dan menyerang yang seimbang.
Bersama George Best dan Denis Law disebut sebagai “Holy Trinity” atau “United Trinity”. Dibanding keduanya, Charlton merupakan sosok asli Busby Babes. Charlton satu-satunya anggota trinitas yang tahu soal kejadian mengerikan pada 6 Februari 1958. Tragedi Munich terjadi 18 bulan sejak dia melakukan debutnya bersama MU dan saat itu masih berusia 20 tahun. Dia ikut merasakan gelar juara 1956/1957 dan menjadi bagian yang tidak pernah meraih apapun selama lima musim setelah tragedi Munich.
Getty Images/Evening StandardGetty Images/Evening Standard
Sempat menderita luka serius di bagian kepala yang sampai menyebabkan kebotakan, setelah dirawat di rumah sakit selama seminggu, Charlton bisa sembuh dan kembali bermain. Dia kemudian ambil bagian dalam regenerasi Busby saat itu. Setelah sempat finis di urutan kedua pada 1958/1959, MU merosot ke peringkat ketujuh dan ke-15 dua musim setelahnya. Trofi pertama diperoleh pada 1962 setelah Denis Law datang. MU mengalahkan Leicester City di final Piala FA.
Musim 1973/1974 saat United diasuh oleh Tommy Docherty, Charlton memutuskan pergi. Dia bermain untuk Preston North End di mana dia juga berperan sebagai pelatih. Bermain di sana hingga 1975 dengan mengoleksi 8 gol dari 38 pertandingan. Sempat bermain di Waterford United sebelum akhirnya memutuskan pensiun dari sepak bola di tahun 1975. Charlton kemudian sempat menjadi caretaker manajer di Wigan Athletic tahun 1983.
Bobby Charlton akhirnya kembali ke United sebagai salah satu direktur klub tahun 1994. Di tahun tersebut, dia juga memperoleh gelar ksatria. Dia kini merupakan figur terpenting dalam kejayaan MU setelah Sir Matt Busby dan Sir Alex Ferguson.
“England have never replaced him,” ujar Mike Langley, seorang kolomnis sepak bola di Inggris, mengenai kiprahnya. George Best juga menyanjungnya dengan berkata “I’ve never seen anyone go past player as easily as he did.” Bagi Sir Matt Busby, Charlton merupakan pemain hebat, “There has never been a more popular footballer. He was as near perfection as man and player as it is possible to be.”
Masih banyak komentar pujian lain yang dialamatkan untuk Charlton. Menanggapi semua itu dengan rendah hati Sir Bobby Charlton berucap singkat “I was lucky.” Sir Bobby Charlton memang seorang pesepak bola yang hebat dan memiliki kepribadian menawan.
Learn more »

EDITORIAL: Bela Guttmann dan Kutukan Seabad Benfica


Kekalahan adu penalti melawan Sevilla dalam final Liga Europa 013/14 di Juventus Stadium, Turin, Kamis (15/5), menandakan bahwa sang raksasa Portugal Benfica belum lepas dari kutukan yang membelenggu mereka sejak 52 tahun silam. Kutukan apakah itu sebenarnya?

Akar permasalahannya adalah seorang pria Hungaria bernama Bela Guttmann. Siapakah dia? Apa hubungannya dengan Benfica? Mari kitaflashback sejenak dan telusuri dari awal.

Di tahun 1960, setelah menangani sejumlah klub top dunia dari AC Milan, Sao Paulo hingga FC Porto, Guttmann diangkat menjadi pelatih Benfica. Waktu itu, Guttmann langsung mengambil langkah signifikan. Sebanyak 20 pemain senior didepaknya guna memberi jalan bagi para pemain muda didikan akademi ke tim utama.

Dengan pemain legendaris Benfica Eusebio yang dibawanya ke klub, Guttmann sanggup memberikan kesuksesan kolosal nan instan buat As Aguias (The Eagles).

Pasukannya sanggup mematahkan dominasi Real Madrid di turnamen elit European Champion Clubs' Cup (sekarang Liga Champions) dan menjadi juara dua musim secara beruntun berkat kemenangan atas Barcelona dalam final 1961 di Wankdorf Stadium serta final 1962 melawan Real Madrid di Olympic Stadium.

(Patung Guttmann memegang dua trofi European Cup diletakkan di salah satu pintu Estadio da Luz untuk merayakan ulang tahun ke-110 Benfica ©mfa.gov.hu)

Berkat kesuksesan itu, Guttmann merasa bahwa dia layak mendapatkan kenaikan gaji. Guttmann pun lantas mendekati pihak klub guna mengutarakan maksudnya. Namun, keinginan Guttmann ditolak mentah-mentah. Guttmann kecewa, marah, dan akhirnya memutuskan hengkang.

Namun, saat pergi, Guttmann berkata: "Takkan pernah bisa dalam 100 tahun dari sekarang Benfica menjadi juara Eropa."

Itulah awal dari segalanya.

Sejak hari itu, rentetan nasib buruk menaungi kiprah Benfica di Benua Biru. Delapan kali masuk final kejuaraan Eropa, mereka selalu gagal mengangkat trofi juara.

Daftar kegagalan Benfica di final kejuaraan antraklub Eropa:
European Cup/Liga Champions
1962/63: AC Milan 2-1 Benfica
1964/65: Inter Milan 1-0 Benfica
1967/68: Benfica 1-4 Manchester United
1987/88: PSV Eindhoven 0-0 Benfica (PSV menang adu penalti 6-5)
1989/90: AC Milan 1-0 Benfica
UEFA Cup/Liga Europa
1982/83: Anderlecht 1-0 Benfica
2012/13: Benfica 1-2 Chelsea
2013/14: Sevilla 0-0 Benfica (Sevilla menang adu penalti 4-2).


(Benfica takluk dalam final melawan Sevilla di Turin © AFP)


(Para suporter Benfica seolah tak percaya kalau tim kesayangan mereka lagi-lagi kandas di final © AFP)

Sebelum final European Cup 1990 melawan Milan di Vienna, kota tempat Guttmann meninggal dan dikebumikan ketika meninggal pada 28 Agustus 1981 (usia 82), Eusebio bahkan berdoa di makamnya serta meminta agar kutukan terhadap Benfica diangkat.


(Eusebio, pemain legendaris Benfica yang meninggal pada 5 Januari 2014 © EPA)

Namun, kutukan Guttmann ternyata masih berlanjut, bahkan hingga sekarang.

Pertanyaan di benak para suporter Benfica saat ini mungkin semuanya sama: "Kapan kutukan Guttmann akan lepas?"

Kalau kutukan itu benar berlaku seabad lamanya seperti yang dahulu diucapkan Guttmann, berarti Benfica masih harus menunggu 48 tahun lagi untuk bisa menjuarai kompetisi antarklub Eropa.

Sungguh sebuah penantian yang sangat panjang.
Learn more »

Sejarah Hari Ini (14 Mei): Asal Mula Tradisi Tukar Kaus

Kemenangan bersejarah Prancis atas Inggris tepat 83 tahun silam menandai asal mula ritual pertukaran seragam antarkubu setelah bertarung di lapangan.

Pertukaran jersey yang dilakukan para pemain dari kedua tim usai bertanding menjadi pemandangan jamak di cabang sepakbola, tapi rasanya tak banyak yang mengetahui kapan ritual ini bermula.

Sejarah merekam bahwa salah satu tradisi yang melambangkan sportivitas ini pertama kali terlihat di hadapan publik pada 14 Mei 1931, setelah Prancis menghantam Inggris 5-2 dalam laga persahabatan di Stade Olympique Yves-du-Manoir, Paris.

Sebelum ini kedua negara sudah bertemu sebanyak enam kali, semuanya bertajuk uji coba. Tim Ayam Jantan selalu tak berdaya di hadapan skuat Tiga Singa dengan rekor gol sangat buruk: hanya bisa membuat total enam gol dan kebobolan 25 kali dalam enam pertemuan tersebut!

Rekor negatif Prancis seakan bakal berlanjut setelah Samuel Crooks membungkam 30 ribu pendukung tuan rumah dengan gol pembuka saat laga baru berjalan sepuluh menit.

Tak dinyana, Les Blues sanggup merespons hanya lima menit berselang melalui Lucien Laurent. Torehan penyeimbang dari pemain yang setahun sebelumnya masuk buku sejarah sebagai pencetak gol perdana di turnamen Piala Dunia itu mengawali kebangkitan gemilang Prancis.

Berturut-turut Robert Furois (18'), Marcel Langiller (29'), dan  Edmond Delfour (57') membukukan nama di papan skor untuk mengubah kedudukan 4-1. Tim tamu menipiskan ketertinggalan di menit ke-71 lewat Thomas Waring, namun sesaat kemudian Furois melesakkan gol keduanya dan menutup kemenangan komprehensif Prancis.

Akhirnya sukses mengatasi perlawanan Inggris, bahkan dengan skor telak, skuat Ayam Jantan diliputi suka cita saat wasit meniup peluit panjang. Saking bahagianya, kubu Prancis meminta kaus para pemain Inggris sebagai kenang-kenangan untuk menandai hasil bersejarah ini, dan sang lawan mengabulkannya. Momen inilah yang menjadi asal mula ritual pertukaran kaus.
Learn more »

Sejarah Hari Ini (15 Desember): Lahirnya Revolusi Aturan Transfer

Pemain bebas kontrak dapat hengkang ke klub lain dengan gratis berkat usaha Jean-Marc Bosman pada tahun 1990-an.

Pada tanggal 15 Desember 1995, terjadi perubahan revolusioner dalam aturan transfer sepakbola ketika pengadilan Eropa mengeluarkan keputusan terkait tiga kasus yang melibatkan gelandang asal Belgia, Jean-Marc Bosman. 

Keputusan itu mengubah aturan transfer olahraga sepakbola dengan mengizinkan seorang pemain yang bebas dari kontrak dapat hengkang ke klub lain tanpa banderol.

Bosman memprakarsai tindakan hukumnya itu pada 8 Agustus 1990 dengan menuntut klubnya saat itu, RC Liege, karena klub Belgia tersebut menolak melepasnya ke klub divisi dua Prancis, US Dunkerque. Meski kontrak Bosman sudah habis, Liege masih memiliki hak bermainnya dan mereka  menolak transfer kecuali Dunkerque bersedia membayar banderol sebesar 1,2 juta franc Belgia, dan klub asal Prancis itu menolak menurutinya.

Pengadilan Eropa memutuskan bahwa sikap Liege itu merupakan pengekangan secara ilegal yang dilarang terkait dengan perdagangan. Pengadilan menyatakan bahwa pemain yang sudah tidak terikat kontrak dapat hengkang ke klub lain tanpa banderol transfer.

Keputusan tersebut membuat transfer pemain langsung membanjiri setiap liga di Eropa, meski keputusan itu sudah terlambat bagi Bosman sendiri, karena ia telah pensiun dari lapangan hijau ketika keputusan itu terbit. Untuk menghormati jasanya, aturan itu akhirnya disebut sebagai 'Bosman Ruling'.
Learn more »

Panenka, Teknik 'Pembunuh' Dari Titik 12 Pas

Panenka style adalah teknik eksekusi penalti yang cukup populer di jagat sepak bola. Hampir tak ada orang yang tidak mengetahuinya. Namun, hanya beberapa yang berani menerapkannya di pertandingan nyata.

Pasalnya, Panenka merupakan teknik ampuh untuk 'membunuh' lawan yang juga bisa diibaratkan sebagai pedang bermata ganda. Salah-salah, hasilnya pasti berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan. Butuh mental baja, skill mumpuni untuk mengecoh penjaga gawang dan kepercayaan diri tinggi guna menyukseskannya, terutama di laga yang penuh tekanan.

Teknik ini pertama kali diperagakan oleh eks gelandang Cekoslovakia Antonin Panenka dalam adu penalti melawan Jerman Barat di final Euro 1976. Ketika skor 4-3, Panenka, yang merupakan algojo kelima Cekoslovakia, berhadapan satu lawan satu dengan Sepp Maier.Pressure-nya luar biasa. Namun, Panenka dengan dingin justru men-chipbola ke tengah gawang dan membuat Maier tampak seperti kiper amatiran. Cekoslovakia pun keluar sebagai juara dengan kemenangan 5-3 lewat adu penalti setelah bermain imbang 2-2 sepanjang waktu normal.


Seandainya Panenka grogi sedikit saja, yang menyebabkan Maier tidak terkecoh secara sempurna, kisahnya pasti berbeda. Ya, dari situlahPanenka style dikenal oleh seantero dunia.

Sejak itu hingga sekarang, beberapa pemain sudah mencoba menirunya. Ada yang berhasil, tapi ada juga yang gagal dan justru berakibat fatal.

Ada pula Andrea Pirlo, yang eksekusinya ketika masih berseragam AC Milan dimentahkan dengan mudah oleh Pinto dalam laga kontra Barcelona di Joan Gamper Trophy 2010 di Camp Nou.


ada juga beberapa nama tenar yang dengan dinginnya mengecoh kiper habis-habisan memakai teknik Panenka. Sebut saja Francesco Totti yang berperan membawa Italia mengalahkan Belanda dalam adu penalti di semifinal Euro 2000, Helder Postiga (Portugal) yang turut menyingkirkan Inggris di perempat final Euro 2004, serta Zinedine Zidane ke gawang Gianluigi Buffon pada menit 7 final Piala Dunia 2006, yang diwarnai insiden kartu merah akibat tandukan sang legenda ke dada Marco Materazzi dan Prancis kalah adu penalti tanpanya.



Panenka adalah teknik 'pembunuh' artistik dari titik 12 pas. Semua mengenalnya. Namun, hanya beberapa yang berani memakainya.
Learn more »

Sejarah Hari Ini (12 September): Debut Alessandro Del Piero Untuk Juventus

Tepat 20 tahun yang lalu, Alessandro Del Piero menorehkan debutnya bagi klub yang kini menjadikannya sebagai legenda terbesar.

Nama Alessandro Del Piero mulai jadi buah bibir pada pertengahan 1993. Bocah yang kala itu masih membela klub Serie B, Padova, disebut memiliki talenta luar biasa yang jarang ditemui pada pemain seusianya, 18 tahun. 

Klub-klub besar Serie A mulai kepincut, AC Milan dan Juventus jadi yang terdepan untuk mendapatkannya. Pada akhirnya bujukan Gianpiero Boniperti kala itu sanggup memenangkan hati si bocah di tengah rayuan menggoda yang dilancarkan Adriano Galliani. 

1 Juli 1993, pemain yang akrab disapa Alex ini resmi pindah ke Juventus dengan banderol £2,28 juta. Belakangan Galliani menyebut jika kegagalannya mendatangkan Del Piero, jadi salah satu penyesalan terbesarnya.

ALESSANDRO DEL PIERO
 

Debut Del Piero bersama La Vecchia Signora terjadi pada 12 September 1993. Kala itu Juve harus bertandang ke markas Foggia dalam lanjutan Serie A 1993/94, gionarta keempat. Tim asuhan Giovanni Trapattoni datang dengan optimisme tinggi pasca kemenangan 3-1 atas Sampdoria pada pekan sebelumnya.

Tidak disangka, nama besar tim tamu tak membuat tuan rumah gentar sama sekali, berulang kali mereka mengancam gawang kawalan Angelo Peruzzi. Pelatih Foggia kala itu, Zdenek Zeman -yang dikenal sebagai antagonis Juventus- benar-benar berhasrat mengalahkan raja Serie A itu. Secara mengejutkan,Satanelli mampu unggul lebih dulu melalui gol Bryan Roy pada menit ke 63.

Gol tersebut membuat La Fidanzata d'Italia tersentak. Lima menit berselang, Fabrizio Ravanelli membawa Juve menyamakan keadaan menjadi 1-1 dengan memanfaatkan kemelut di depan gawang Foggia.

Tak lama kemudian momen bersejarah itu tiba, Mr.Trap membuat keputusan yang mungkin terbilang aneh bagi sebagian orang. Ia mengganti Ravanelli yang jadi bintang Juve di laga itu dengan Del Piero, pada menit ke 74. 

Il Pinturicchio untuk pertama kalinya melakoni duel resmi dengan jersey hitam-putih ala Bianconeri. Ia turun dengan jersey no. 16, tidak dengan no. 10 yang saat itu masih jadi milik pujaan Italia, Roberto Baggio.

Tak banyak yang bisa Del Piero lakukan dalam laga debutnya, namun setiap sentuhannya seakan memberikan pesan jika ia bakal melakukan hal-hal besar dalam karier sepakbolanya. Skor 1-1 untuk kedua tim tak pelak jadi hasil akhir laga.
PINTURICCHIO

Nama: Alessandro Del Piero
Tempat, Tanggal Lahir: Conegliano, Italia, 9 November 1974
Klub:
 Padova (1991 - 1993)
Juventus (1993-2012)
Sydney FC (2012 - Sekarang)
Koleksi Gelar Klub:
Juventus:Serie A (8): 1994–95, 1996-97, 1997-98, 2001-02, 2002-03. 2004-05*, 2005-06*, 2011-12
Coppa Italia (1): 1994-95
Supercoppa Italiana (4): 1995, 1997, 2002, 2003
Piala Intertoto (1): 1999
UEFA Champions League (1): 1995–96
Piala Super Eropa (1): 1996
Piala Interkontinental (1): 1996

(*: Dicabut oleh pengadilan akibat Calciopoli)


Kini dua dekade semenjak debutnya, Del Piero telah menjelma menjadi legenda terbesar La Signora Omcidi. Jumlah 705 penampilan dengan torehan 290 gol, jadi yang terbanyak dalam buku rekor Si Nyonya Tua. Tak hanya itu, King Alex juga sudah memberikan semua gelar tertinggi di level klub untuk Le Zebre.

1 Juli 2012 jadi hari terahir Del Piero berada di Juventus, ia kemudian memilih bergabung bersama klub Australia, Sydney FC, untuk melanjutkan karier sepakbolanya. Meski begitu, kisah hebatnya bersama panji Juventus tak akan lekang oleh waktu. Berkat semua jasanya, nama Alessandro Del Piero kini sudah terpatri di hati para Juventini seantero dunia.
Learn more »