Feature news

Tampilkan postingan dengan label unique world cup. Tampilkan semua postingan

Cerita Unik Piala Dunia: Amarildo, Pahlawan Dari Bangku Cadangan


Sebagai olahraga yang melibatkan tim, tentu saja sepak bola menyediakan tempat bagi siapapun yang menjadi bagian dari tim itu sendiri untuk menjadi pahlawan. Dan bagi negara yang disesaki talenta-talenta besar yang membentang dari era Leonidas, Pele, Ronaldo Luiz Nazario hingga kini Neymar, nama Amarildo Tavares da Silviera mungkin yang sedikit dilupakan meski tak pelak ia adalah juga seorang pahlawan bagi sepak bola Brasil.
Amarildo, begitu ia biasa dipanggil, adalah anggota tim nasional Brasil pada Piala Dunia 1962 yang berlangsung di Cile. Saat mengisi skuat tersebut, Amarildo masih berusia 22 tahun, setahun lebih tua dibandingkan dengan bintang utama saat itu, Edson Arantes dos Nascimento alias Pele. Sudah bisa ditebak, Amarildo saat itu hanyalah pelapis bagi Pele. “Di bawah Aymore Moreira (pelatih saat itu), setiap pemain inti memiliki pelapis. Dalam hal ini sayalah pelapis Pele,” kenangnya.
Menggeser tempat pemain muda cemerlang yang telah memberi gelar Piala Dunia empat tahun sebelumnya bukanlah pekerjaan mudah. Amarildo pun cukup tahu diri, meski ia bertekad akan memberikan yang terbaik jika dimainkan. Benar saja, dalam laga pertama yang mempertemukan Brasil dengan Meksiko, Amarildo tidak diturunkan dan Pele mencetak gol.
Lalu datanglah laga kedua menghadapi Cekoslovakia yang kemudian mengubah jalan cerita. Pele mengalami cedera yang cukup parah sehingga tidak mampu melanjutkan pertandingan. Saat itu, pergantian pemain memang belum diberlakukan sehingga Amarildo urung bermain.
Laga penentuan pun hadir melawan tim kuat Spanyol yang kala itu diperkuat mantan bintang Hongaria, Ferenc Puskas. Puskas memang hijrah ke Spanyol pascarevolusi yang terjadi di Hongaria. Saat itu, FIFA memang masih membolehkan seorang pemain memperkuat lebih dari satu negara pada Piala Dunia yang berbeda. Dipimpin Puskas yang berduet dengan Francisco Gento, Spanyol memang berhasil memimpin satu gol atas Brasil hingga lebih dari satu jam pertandingan.
Magis Amarildo memang baru datang jelang akhir pertandingan. Tanpa disangka, ia kemudian mencetak dua gol hanya dalam waktu 15 menit untuk membalikkan kedudukan menjadi 2-1 untuk Brasil. Berkat gol-gol dari pemain yang di kemudian hari sukses berkarir di Italia bersama Milan dan Fiorentina ini, tim Samba pun melaju ke babak knock-out untuk bertemu Inggris.
Meski tanpa Pele yang cedera hingga turnamen berakhir, Brasil memang masih memiliki banyak pemain andal lainnya seperti Garrincha, Didi, Vava dan Nilton Santos. Garrincha kemudian berhasil mencetak dua gol ke gawang Inggris untuk membawa Brasil ke babak selanjutnya bertemu tuan rumah Cile. Garrincha dan Vava kemudian kembali menjadi pahlawan dengan masing-masing mencetak dua gol yang menyudahi perlawanan tuan rumah dengan skor 4-2. Brasil pun melaju ke final untuk kembali bertemu Cekoslovakia.
Laga final berlangsung sengit, dan Brasil harus tertinggal 0-1 lebih dulu lewat gol Josef Masopust. Namun Amarildo kemudian muncul kembali. Hanya dua menit setelah gol Masopust, ia berhasil menyamakan kedudukan, hal yang kemudian meningkatkan mental bertanding Brasil. Tim ini kemudian berhasil menjadi juara setelah gol tambahan dicetak oleh Zito dan Vava. Brasil akhirnya mengikuti jejak Italia sebagai tim yang mampu merebut gelar juara secara beruntun. Hebatnya, Brasil meraih gelar kedua ini tanpa bintang utama yang cedera.

Cerita Amarildo ini sebetulnya agak mirip dengan yang dialami mantan gelandang Prancis, Youri Djorkaeff. Djorkaeff memang pemain inti dalam tim nasional Prancis yang menjuarai Piala Dunia 1998, tidak seperti Amarildo yang merupakan pemain pelapis. Namun Djorkaeff mampu mengambil peran sentral lini tengah setelah bintang utama Zinedine Zidane dihukum dua pertandingan akibat insiden dengan pemain lawan. Tanpa konsistensi Djorkaeff, Prancis mungkin saja tidak dapat melaju hingga ke partai puncak.
Pada ajang di luar Piala Dunia, cerita kepahlawanan pemain-pemain pengganti seperti ini mungkin masih banyak, salah satu yang paling fenomenal mungkin apa yang dipertontonkan Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer pada final Liga Champions tahun 1999 antara Manchester United melawan Bayern Muenchen. Atau kisah kepahlawanan pemain pengganti lainnya dalam wujud Pascal Feindouno ketika mencetak gol penentu yang membawa klubnya saat itu Girondins Bordeaux merebut gelar juara Liga Prancis musim 1998/1999.
Hal-hal semacam ini semakin menundukkan bahwa siapapun dapat memberikan kontribusinya bagi tim asalkan selalu berlaku profesional dan siap menampilkan yang terbaik setiap saat. Dalam hal ini, Amarildo adalah contoh terbaik pemain yang memberi kontribusi maksimal saat muncul sebagai pemain pengganti mengingat ia melakukannya di ajang Piala Dunia, dan tentunya berbuah gelar juara.
Learn more »

Cerita Unik Piala Dunia: Oleg Salenko, Sang Pemecah Rekor Gol Dalam Satu Pertandingan


Dalam dunia sepak bola, terdapat istilah one hit wonder untuk merujuk pada performa seorang pemain atau sebuah tim yang begitu memukau pada suatu kejuaraan, namun kemudian meredup dan tidak pernah kembali pada performa memukau tersebut. 
Penyandang predikat ini mungkin memang ditakdirkan untuk membuka mata dunia pada satu momen saja. Nama-nama seperti Joel Gaetjens, Amarildo, Just Fontaine, tim nasional Kamerun tahun 1990 atau tim nasional Bulgaria tahun 1994 dapat dimasukkan pada kategori ini.
Kali ini penulis ingin memilih seorang orang pemain yang mengalami cerita luar biasa namun kemudian namanya tenggelam dan kemudian meredup, yaitu ekspenyerang Rusia yang bermain di Piala Dunia 1994, Oleg Salenko.
Cukup banyak pemain yang mampu mencetak 6 gol dalam sebuah turnamen Piala Dunia, bahkan melebihinya. Namun hanya seorang Oleg Salenko yang mampu mencetak 6 gol tersebut hanya dari 3 laga yang diikuti (1 di antaranya sebagai pemain pengganti), di mana 5 gol di antaranya dicetak dalam satu laga saja. Hingga kini, Salenko masih memegang rekor abadi pencetak gol terbanyak dalam satu laga Piala Dunia saat ia melakukannya ke gawang Kamerun dalam babak penyisihan grup Piala Dunia 1994.
Salenko, penyerang kelahiran Leningrad (sekarang St. Petersburg) 44 tahun yang lalu, semula tidaklah menjadi pilihan utama pelatih Pavel Sadyrin dalam persiapannya menuju Piala Dunia 1994. Lini depan Rusia telah penuh sesak oleh nama-nama besar seperti Dimitri Radchenko, Sergei Yuran, maupun penyerang berbakat saat itu, Vladimir Beschastnykh,
Salenko bahkan tidak diturunkan sebagai pemain utama dalam laga pembuka menghadapi Brasil yang akhirnya berkesudahan kekalahan 0-2. Sadyrin baru menurunkan Salenko dalam laga kedua menghadapi Swedia. Kepercayaan sang pelatih dibayar tuntas dengan sebuah gol, namun sayang hal tersebut tidak mampu menandingi keperkasaan Swedia yang saat itu melaju hingga semi final.
Rusia boleh tersingkir dengan penampilan yang buruk, namun tidak bagi seorang Salenko. Dalam laga terakhir melawan Kamerun, Salenko mengamuk dengan melesakkan 5 gol sekaligus di mana semua gol tersebut tercipta lewat penyelesaian akhir yang sangat dingin dan mematikan. Total 6 gol yang dilesakkan penyerang bertinggi 181 cm ini menjadikannya sebagai perebut sepatu emas bersama penyerang Bulgaria Hristo Stoitchkov yang juga menorehkan jumlah gol yang sama, namun ia membukukannya dalam 7 pertandingan.
“Kamerun adalah tim yang bagus, namun menurut saya mereka agak mengabaikan taktik. Setelah tertinggal satu gol, mereka langsung bernafsu untuk membalas dan melupakan pertahanannya. Begitupun setelah Roger Milla (penyerang Kamerun) membalas satu gol, mereka pikir akan mampu mengejar kami. Kami menghukum mereka saat itu,” kenang Salenko seperti dikutip dari wawancaranya dengan majalah Four Four Two.

“Kami tidak beruntung berada satu grup dengan Brasil yang kemudian memenangi turnamen, dan juga Swedia yang saat itu merebut peringkat ketiga. Padahal materi pemain kami amat bagus, kerangka dari tim Uni Soviet tahun 1990. Saat itu terdapat pemain Rusia, Ukraina hingga Georgia. Jika saja kami berhasil melaju ke babak knock-out, mungkin kami bisa berbuat lebih banyak.” Lanjutnya.
Bukan hanya di Piala Dunia level senior Salenko merebut sepatu emas. Tahun 1989, ia juga menorehkan prestasi serupa saat membela negaranya pada Piala Dunia U-20 yang berlangsung di Arab Saudi. Dengan demikian, Salenko tercatat sebagai satu-satunya pemain yang mampu merebut sepatu emas pada dua Piala Dunia level berbeda. Sebuah torehan yang tentu saja pantas disebut sebagai torehan legendaris.
Namun karir Salenko tidaklah otomatis melejit setelah persembahan fenomenal tahun 1994. Cedera, ketidakcocokan dengan pelatih hingga inkonsistensi permainan menjadi alasan mengapa karirnya tidaklah awet di sepak bola level tertinggi. Usia Salenko saat itu adalah 25 tahun, usia emas seorang pesepakbola. Segera setelah Piala Dunia 1994, klub kuat Valencia menariknya dari Logrones. Namun ia hanya bertahan semusim di Mestalla dengan torehan 7 gol dari 25 pertandingan.
Setelah itu, ia hijrah ke Glasgow Rangers, namun hanya untuk bermain sebanyak 16 kali sebelum hijrah ke klub-klub yang lebih kecil seperti Istanbulspor, Cordoba dan Pogon Szczecin hingga akhir karirnya.  Ironisnya lagi, setelah Piala Dunia 1994 tersebut, Salenko tidak pernah kembali lagi ke tim nasional. Total, Salenko hanya membela Rusia sebanyak 8 kali dan mencetak 6 gol, semua gol tersebut tercipta pada Piala Dunia 1994.
Menurut pengakuan Salenko sendiri, ketidakcocokan dengan pelatih maupun cedera memang menjadi alasan mengapa karir internasionalnya begitu singkat. Masih dari wawancaranya dengan majalah Four Four Two, Salenko mengungkapkan bahwa pelatih Rusia selepas Piala Dunia 1994 Oleg Romantsev tidak menyukainya lantaran reputasi tinggi yang dimilikinya melebihi dari sang pelatih sendiri. Sementara pada era Boris Ignatiev yang menggantikan Romantsev, Salenko lebih banyak bergelut dengan cedera sehingga memang ia tidak pernah kembali lagi ke tim nasional.
Learn more »