Pada 1918, influenza yang kini dikenal sebagai Flu Spanyol
menjadi pandemi global yang dengan cepat menyebar dan mempengaruhi
perang dunia I yang terjadi.
Malahan, ada yang menduga virus ini adalah
senjata biologis (bioweapon) dalam perang.
Apa faktanya?
Mengutip Live Science,
kita akan mengupas terkait virus Flu Spanyol. Pertama mengenai teori
asal-usul dari mana virus ini berasal.
Sebuah teori terbaru dari ahli
sejarah Mark Humphries dari Canada's Memorial University of Newfoundland
mengatakan kemungkinan virus ini bermula dari pekerja China yang berada
di barisan belakang Inggris dan Prancis.
Kendati demikian, banyak yang
menuduh virus ini bermula dari sekutu di Eropa atau sebagian menunjukkan
jari ke arah Amerika Serikat.
Berdasarkan tulisan di Centers for Disease Control and Prevention,
pada musim semi 1918 mulai dilaporkan beberapa pasukan Amerika Serikat
yang mengalami penyakit misterius di basecamp pasukan.
Minimnya
kecanggihan teknologi membuat perlawanan dengan informasi masif terkait
Flu Spanyol menjadi terhambat.
Ditambah lagi anggapan remeh mengenai virus ini yang membuatnya
menyebar semakin cepat. Diperkirakan, korban jiwa mencapai 100 juta di
seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri dikabarkan memakan hingga 4 juta
korban jiwa.
Apakah benar senjata biologis ?
Sejarah
mencatat penggunaan senjata biologis dan kimia pernah ada.
Namun,
terkait Flu Spanyol, referensi untuk menuduhnya sebagai bioweapon masih
minim data dan informasi.
Foto ilustrasi: Suasana pelabuhan Tanjung Priok di Batavia.
Pelabuhan menjadi pintu masuk wabah flu Spanyol, 1918-1920.
(Tropenmuseum/Wikimedia Commons) Foto: Foto ilustrasi: Suasana pelabuhan
Tanjung Priok di Batavia. Pelabuhan menjadi pintu masuk wabah flu
Spanyol, 1918-1920. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)
Ketika disebut pandemi ini merupakan senjata biologis pertama Amerika
dalam WWI (World War I), nyatanya angka kematian di Negeri Paman Sam ini
makan ratusan ribu nyawa.
Yang pasti, disebutkan jumlah korban akibat
Flu Spanyol lebih banyak dibandingkan dari korban Perang Dunia I.
Mengapa diberi nama Flu Spanyol ?
Meski asal
usul virus ini tidak diketahui, banyak negara yang mengkambinghitamkan
Spanyol. Raja dari Spanyol yang kala itu merupakan negara netral,
Alfonso XIII dikabarkan mengalami penyakit yang sebenarnya sudah dialami
oleh banyak negara blok. Ini dilakukan guna mengalihkan perhatian
seolah-olah flu ini berasal dari Spanyol.
100 Tahun sebelum COVID-19, pandemi Spanish Flu terjadi sampai 3 gelombang. Ancaman gelombang kedua virus Corona mesti diwaspadai, jangan jatuh ke lubang yang sama.
Spanish
Flu atau Flu Spanyol berlangsung selama 12 bulan dari musim semi 1918
sampai musim panas 1919. Washington Post memberitakan, 500 juta orang
ketularan, korban jiwa sekitar 50 juta orang di seluruh dunia.
Yang banyak orang lupa adalah Flu Spanyol tidak datang sekali. Pandemi
ini datang dalam 3 gelombang. Semua gara-gara mobilitas manusia yang
tidak dibatasi, mendorong penyebaran Flu Spanyol.
Jeffery K Taubenberger dan David M Morens menulis jurnal medis berjudul 1918 Influenza: the Mother of All Pandemics yang diterbitkan US National Library of Medicine National Institutes of Health.
Di situ mereka menuliskan bagaimana Flu Spanyol datang dalam 3 gelombang.
Gelombang pertama tercatat muncul di Amerika pada Maret 1918, meskipun
tidak terlacak asalnya dari mana.
Gelombang pertama relatif bersifat
lokal lalu mereda. Data dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) Amerika, mencatat ada 100
kasus di pangkalan militer Camp Funston, Fort Riley, Kansas.
Ketika
mereda, di situlah orang-orang salah perhitungan, di sangka wabah flu
ini selesai sepenuhnya.
Kesalahan pertama adalah, Amerika saat itu
terlibat Perang Dunia I tahun 1918, terjadilah mobilitas orang
besar-besaran ke Eropa berupa pengiriman ratusan ribu tentara ke medan
perang.
"Ratusan ribu tentara Amerika pergi menyeberangi Samudera Atlantik untuk
berperang. Pergerakan tentara secara massal menyebabkan penyebaran flu
secara global," kata CDC.
Kesalahan kedua adalah menutupi
informasi terkait wabah. Tidak boleh ada pemberitaan soal penyakit dan
kematian pada media massa di Jerman, Inggris, Prancis dan AS gara-gara
Perang Dunia I.
Semua itu demi menjaga semangat tentara yang berperang.
Akibatnya fatal, tidak ada orang yang waspada dan terjadilah gelombang kedua Flu Spanyol
pada September-November 1918 di seluruh dunia.
Spanyol yang tidak
ikutan perang, berani duluan memberitakan pandemi ini sehingga warga
dunia mengira flunya berasal dari Spanyol.
"Gelombang kedua atau
gelombang musim gugur menyebar global dari September ke November 1918
dan jauh lebih fatal," kata Taubenberger dalam risetnya.
Para polisi bermasker saat Spanish Flu, seperti hari ini bukan?
Senada dengan itu, CDC juga mengungkap data pandemi gelombang kedua jauh
lebih berbahaya dari gelombang pertama.
"Pandemi mencapai puncaknya di
Amerika pada gelombang kedua, musim gugur 1918," kata CDC.
Menurut
CDC, pandemi gelombang ketiga terjadi musim dingin 1918 sampai musim
semi 1919. Gelombang ketiga baru reda pada musim panas 1919.
"Sekitar 1/3 populasi dunia terinfeksi virus flu 1918, mengakibatkan setidaknya 50 juta kematian di seluruh dunia," kata CDC.
Berkaca pada pandemi Flu Spanyol, dunia harus berhati-hati dengan COVID-19. Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi di musim gugur akibat mobilitas manusia besar-besaran di musim panas.
Sedangkan
saat ini, dunia bersiap-siap untuk pelonggaran lockdown menjelang musim
panas 2020. Pemerintah, ilmuwan dan masyarakat harus berhitung betul
dengan risikonya.
Dunia jangan jatuh ke lubang yang sama di musim gugur
mendatang.