Feature news

Tampilkan postingan dengan label sejarah indonesia soekarno. Tampilkan semua postingan

Kisah Nama Presiden Pertama RI, Soekarno yang Artinya Telinga

Siapa yang tidak tahu Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno? Dia adalah tokoh besar dan proklamator kemerdekaan Indonesia yang kharismatik. 

 

Nama Karno ternyata diambil dari kisah Mahabarata.

 

Dikutip dari buku Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Soekarno dan Cindy Adams, Karno atau Karna ternyata berarti telinga. Buku tersebut menjelaskan asal usul kata hingga berarti telinga.


 

Karna adalah pahlawan besar dalam cerita klasik Mahabarata. Dia dikenal sebagai sosok besar, kuat, dan setia pada teman serta keyakinannya. Dia juga terkenal dengan kesaktian, keberanian, dan patriot yang sholeh.

 

Sosok heroik ini lahir dari Batara Surya dan putri cantik bernama Kunti. Batara Surya dikisahkan melihat putri Kunti dan jatuh hati. Putri Kunti lantas hamil meski masih berstatus perawan.

 

Batara Surya mencari cara supaya tanda keperawanan putri Kunti tidak berubah. 

 

Akhirnya, Batara Surya menemukan solusi tepat meski tidak biasa. Sang anak akan lahir bukan dengan cara normal.

 

"Akhirnya dapat dipecahkannya, dengan melahirkan bayi itu melalui telinga sang puteri. Jadi, karena itulah pahlawan Mahabharata itu dinamai Karna atau telinga," tulis buku tersebut.

 

Menurut sang ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo yang memberi nama tersebut, perbedaan ejaan a dan o tak jadi masalah. Sedangkan awalan su dalam Soekarno bermakna baik atau paling baik.


Sebelumnya, nama lahir Soekarno adalah Kusno. Orang tuanya kemudian mengganti nama karena Soekarno mudah terserang penyakit. 

 

Dia pernah menderita malaria, disentri, dan setiap penyakit pada masa itu.

 

Bersamaan dengan pemberian nama Soekarno, sang ayah berharap putranya menjadi seorang patriot dan pahlawan besar bagi rakyat. 

 

Harapan ini terwujud karena tak ada orang Indonesia yang tidak kenal Soekarno atau Bung Karno.
 

Learn more »

Upaya Pembunuhan Sukarno di Perguruan Cikini pada 30 November 1957

Perguruan Cikini di Jalan Cikini Raya Nomor 76, Menteng, Jakarta Pusat menjadi salah satu lokasi sejarah yang tidak akan terlupakan. 

 

Sabtu, 30 November 1957 gedung Perguruan Cikini tampak ramai. Berbagai pameran digelar untuk perayaan ulang tahun ke-15 Yayasan Perguruan Cikini.

 

Sejumlah pejabat penting pun datang, salah satunya Presiden Sukarno atau Bung Karno. 

 

Kehadirannya karena menerima undangan dari Kepala Perguruan Cikini Sumadji Muhammad Sulaimani dan Direktur Percetakan Gunung Sari, Johan Sirie.

 

Selain itu, putra-putri Sukarno juga mengenyam pendidikan milik Yayasan Perguruan Cikini. 

 

Yakni Guntur Sukarnoputra, Megawati Sukarnoputri, Rachmawati Sukarnoputri, Sukmawati Sukarnoputri, dan Guruh Sukarnoputra.

 

Saat perayaan itu, Guntur dan Megawati kecil ikut serta dan kegiatan perayaan itu. "Saat itu saya bertugas menjaga pameran, kakak dan adik-adik saya juga. 

 

Lalu Bung Karno mengunjungi kami sebagai orangtua," jelas Megawati saat menghadiri peluncuran tiga buku seri sejarah Sukarno di Museum Nasional, Jakarta, Kamis 30 November 2017.

 

Bung Karno datang ke Perguruan Cikini dengan menumpang mobil kepresidenan jenis Chrysler Crown Imperial. 

 

Mobil tersebut merupakan hadiah dari Raja Arab Saudi, Saud bin Abdul Aziz. 

 

Sebagai presiden, kedatangan Bung Karno diiringi dengan pangawalan polisi militer hingga pengawal pribadi kepresidenan.

 

Warga, tamu undangan, hingga para murid Yayasan Perguruan Cikini menyambut kedatangan Bung Karno dengan penuh suka cita. 

 

Presiden pertama itu pun langsung berkeliling selama 25 menit di SD Perguruan Cikini.

 

Namun, keramain dalam acara itu berubah menjadi peristiwa tragis dan mencekam. 

 

Dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi karya Peter Kasenda disebutkan sejumlah komplotan penyerang melempar granat ke arah Bung Karno.

 

Akibat ledakan granat aktif itu sebagian mobil kepresidenan rusak. Selain itu korban pun berjatuhan. 

 

Tujuh orang dinyatakan meninggal di lokasi dan puluhan orang terluka. Dua dari beberapa korban tewas yakni brigadir pengawal voorijders presiden, yakni Muhammad dan Ahmad bin Udi.

 

Sedangkan Bung Karno selamat dari kejadian itu. Pengawalnya pun sigap memberikan komando dan perlindungan saat peristiwa itu terjadi.

 

"Saya tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup," kata Megawati.

 

Presiden Sukarno pun dengan para pengawal dan putra-putrinya langsung meninggalkan lokasi dan menuju Istana Merdeka dengan mobil berkecepatan tinggi. 

 

Bung Karno dalam buku The Remarkable Story of Soekarno karya Aditmitra Nursalim disebutkan bahwa sebenernya dirinya telah melihat sendiri pelaku dari gerak-geriknya yang mencurigakan. Berselang beberapa hari para pelaku teror ditangkap.

 

Dalang Pemberontakan

 

Upaya pembunuhan Sukarno itu didalangi oleh anggota pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jusuf Ismail. 

 

Dalam menjalankan aksinya, Jusuf dibantu oleh beberapa temennya. Yaitu Saadon bin Mohamad, Tasrif bin Hoesain, dan Mohamad Tasim bin Abubakar.

 

Keempat orang tersebut merupakan penghuni Asrama Sumbawa di Gang Ampiun nomor 21 Cikini, Jakarta Pusat. 

 

Percobaannya pembunuhan itu diduga ketidakpuasan beberapa atas kpemimpinan Sukarno.

 

Jusuf Ismail merupakan warga kelahiran Tente, Bima, NTB, pada 1933. Jusuf datang ke Jakarta melalui wadah Persatuan Pemuda dan Pelajar Pulau Sumbawa (P3S). 

 

Jusuf juga terlibat dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi sayap Partai Masyumi, sebagai anggota cabang Cikini.

 

Lalu, Tasrif Husein lahir di Tente, Bima, pada April 1934. Dia berprofesi sebagai guru pembantu instruktur pendidikan SR Talabiu, setelah lulus dari SGB di Raba, Bima. 

 

Saat merantau ke Jakarta pada 1954 dia mengajar di SR Cidurian Petang. Dia mulai menjadi kader GPII cabang Gambir pada awal 1957.

 

Sedangkan Saadon berstatus mahasiswa, kelahiran Langa, Pinrang, Sulawesi Selatan, tahun 1939 ini kuliah di Akademi Bahasa Arab, Jalan Menteng Nomor 58. Selanjutnya Tasim Abubakar saat itu sedang mengganggur.

 

Akibatnya, keempat pelaku kemudian diajukan ke Pengadilan Tentara Tinggi Jakarta yang dipimpin Letkol R Gunawan. 

 

Persidanganpun diselenggarakan mulai 28 April 1958. Saadon, Tasrif dan Jusuf Ismail divonis hukuman mati.

 

Namun, ketiganya baru dieksekusi pada 30 Mei 1960. Sedangkan Tasim dihukum penjara 20 tahun. Saat itu peran Tasim hanya menyimpan dan mengeluarkan granat.

Learn more »

Dulu Dijual di Medsos, Begini Nasib Surat Nikah dan Cerai Presiden Sukarno

Rumah Inggit Garnasih


Surat nikah dan cerai Presiden Sukarno dan Inggit Garnasih menarik perhatian publik setelah muncul dalam online shop di Instagram.


Kini, dokumen itu disimpan oleh negara.



Surat nikah dan cerai Presiden Sukarno dengan Inggit Garnasih itu muncul di Instagram pada 23 September 2020. Yang bikin heboh, surat itu dijual!


Dalam keterangan penawaran itu disebutkan kalau si cucu yang menjualnya.



Dalam prosesnya diketahui pria itu Tito Asmarahadi, putra Ratna Djuami atau Kartika, keponakan Inggit.


Mayoritas netizen menyayangkan keputusan itu.



Sampai-sampai menyinggung akun Gubernur Jabar Ridwan Kamil.


Mereka meminta agar Kang Emil, sapaan karib Ridwan Kamil, turun tangan menyelamatkan surat tersebut.



Banyak netizen menilai surat tersebut bagian dari sejarah RI.



Salah satunya menyebut agar Kang Emil mengambil segala cara agar surat nikah dan cerai Presiden Sukarno dan Inggit menjadi bagian di ruang pamer Rumah Bersejarah Inggit Garnasih.

Foto Prof Nina Lubis dan ahli waris Inggit Garnasih di Gedung Sate


Rumah yang berada di ujung jalan, Jalan Ciateul No.8 Bandung merupakan cagar budaya sejak bulan November 1997.


Nama jalannya juga diganti menjadi Jalan Inggit Garnasih.


Setelah nyaris setahun, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan kalau surat nikah dan cerai Sukarno (presiden pertama Indonesia) akan disimpan di Kantor Arsip Nasional.


"Sebagai komitmen Pemprov Jabar dan keluarganya, sehingga sesuai kesepakatan, maka dokumen bersejarah berupa surat nikah/pisah Ibu Inggit dengan Bung Karno tidak jadi dijual dan akan diserahkan kepada negara.


Dan, akan disimpan abadi di Kantor Arsip Nasional," ujar Ridwan Kamil dalam akun media sosialnya.


Pemerintah bakal memberikan kompensasi kepada keluarga setelah mengambil alih surat nikah dan cerai Presiden Sukarno dan Inggit Garnasih itu.



Kompensasi itu disesuaikan dengan cita-cita Inggit yang belum kesampaian. Yakni, pembangunan fasilitas umum, seperti rumah sakit dan sekolah dasar.


"Membangun klinik kesehatan adalah wasiat dari Ibu Inggit.



Insya Allah awal 2022, bangunan klinik Inggit Garnasih di Jalan Flores, Bandung di atas lahan bersejarah ini akan bisa dimanfaatkan untuk kesehatan para lansia se-Jawa Barat," kata Kang Emil.


Bangunan untuk lansia atau klinik geriatri akan dibangun dan dikelola oleh Baznas Jabar.



"Siapa memuliakan ibu kita, maka Allah akan memuliakan hidup kita," ujar Ridwan Kamil.

rumah bersejarah Inggit Garnasih yang ada di Jalan Ibu Ingggit Ganarsih No 8, Kecamatan Astanaanyar.


Saat menikah, Sukarno berusia 13 tahun lebih muda ketimbang Inggit.


Waktu itu, Inggit merupakan induk semang atau ibu kos Sukarno selama di Bandung.


Setelah menikah selama 20 tahun, mereka akhirnya bercerai.


Yakni, sekitar pertengahan 1943 atau dua tahun sebelum Indonesia merdeka dan Sukarno menjadi presiden RI.


Dalam prosesnya, Sukarno kemudian menikah dengan Fatmawati.

Learn more »

Bung Karno Ingin Terlihat Tampan

DI antara sekian banyak biografi tentang proklamator RI, Presiden Soekarno, karya Cindy Adams-lah yang paling kuat dan hidup karena ditulis berdasar penuturan langsung Bung Karno.

Kali pertama muncul dalam bahasa Inggris pada 1965 dengan judul Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, buku itu lantas diterjemahkan berulang-ulang dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia".

Dalam 45 tahun terakhir, Cindy untuk kali pertama hadir di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru membuat Cindy harus menunggu visa hampir setengah abad.

Perempuan yang masih cantik di usia setengah abad lebih itu bereuni dengan keluarga Soekarno dan bernostalgia di Indonesia.

Ditemani Kartika Sari Dewi Soekarno, Cindy menerima wartawan Jawa Pos Ahmad Baidhowi di Jakarta.

Pada kesempatan wawancara eksklusif itu, Cindy mengklarifikasi dua paragraf kontroversial dalam edisi terjemahan bukunya yang dipelintir oleh pemerintah Orde Baru.

Kenapa Soekarno memilih Anda, padahal puluhan jurnalis dan penulis antre menunggu izin untuk menulis kisah hidupnya?

Itu bermula dari aktivitas suami saya, Joey Adams. Dia adalah seorang komedian dan entertainer yang menjadi presiden seluruh aktor di Amerika. Pada 1961, dia dikirim Presiden Kennedy sebagai duta kebudayaan untuk wilayah Asia Tenggara. 

Dia dan timnya mengadakan pertunjukan di Istana Negara. Di situlah saya kali pertama bertemu Bapak (dalam wawancara, Cindy selalu menggunakan kata ”Bapak” untuk menyebut Soekarno, Red).

Saat itu saya ikut. Saya tahu, dia adalah salah satu di antara empat orang paling powerful di dunia ketika itu. Karena itu, saya bertekad mewawancarainya. Usai suami saya tampil, saya menghampiri Bapak. Saya bilang ke dia, apa saya boleh mewawancarainya saat itu. Dia mengiyakan.

Apa yang kali pertama Anda tanyakan?

Saya tanya hal-hal lucu dan ringan. Misalnya, kenapa dia memakai seragam kebesaran, peci (sambil memegang kepala). Bapak bilang, dia adalah komandan tertinggi di Indonesia dan rakyat butuh simbol otoritas sebagai panutan. Saya diam beberapa detik. Lalu, saya bilang, saya kira tidak begitu. 

Saya bilang, Anda memakainya karena terlihat tampan. Bapak tertawa. Dia bilang, ya, kamu benar, tapi jangan bilang siapa-siapa ya (Cindy lantas tertawa lebar).

Saya membuatnya tertawa, rileks. Dia juga terkesan dengan artikel yang saya tulis saat itu. Karena itu, ketika dia ingin biografinya ditulis, dia memilih saya. 

Saya awalnya tidak percaya saat Duta Besar Howard P. Jones (Dubes AS ketika itu) memberitahukan bahwa Presiden Soekarno ingin saya kembali ke Indonesia untuk menulis biografinya. Saat itu saya sudah kembali ke New York.

Apakah pemilihan Anda merupakan bentuk diplomasi Presiden Soekarno kepada pemerintah AS?

Saya kira tidak. Apalagi saat itu hubungan pemerintah Indonesia dengan Amerika sedang kurang bagus. Indonesia justru lebih dekat ke China (Tiongkok). Jadi, fakta bahwa dia memilih seorang gadis Amerika untuk menulis biografinya dan Dubes AS sebagai penghubung itu adalah hal yang hebat.

Dia memilih saya karena saya bisa membuatnya merasa santai, tertawa. Sebab, dengan itulah Anda bisa membuat dia bicara. Tidak sekadar bicara retorika politik, slogan-slogan politik, tapi tentang hidupnya, tentang ibunya, bagaimana dia dilahirkan, bagaimana dia sekolah, bagaimana dia kuliah di Bandung, bagaimana dia bertahan saat dipenjara. 

Saya yakin, dia hanya bisa bicara seperti itu kepada orang yang bisa memahami sisi kemanusiaannya. Dan saya hadir pada saat yang tepat.

Selama penulisan biografi pada periode 1961–1967, seberapa intens pertemuan Anda dengan Presiden Soekarno?

Tiap hari, pukul 6 pagi, saya datang ke istana. Bapak duduk di sana tanpa peci, tanpa seragam. Hanya kaus, celana, dan telanjang kaki. Saya datang, lalu minum kopi tubruk. Kami lalu duduk. Kadang dia membiarkan saya mewawancarainya. Kadang dia hanya bercerita kepada saya tentang pekerjaannya.

Saya di istana sejak pukul 6 pagi sampai pukul 9 atau 10. Lalu, pada akhir pekan, saya melakukan cross check atas kisah-kisahnya. Misalnya, setelah dia bicara tentang pengalamannya di penjara Bandung, saya pergi ke sana, melihat kondisinya, bicara dengan sipir penjaganya. Jadi, saya lakukan double check.

Dalam edisi bahasa Indonesia, ada 2 paragraf yang ditambahkan penerjemah. Di situ dituliskan, Presiden Soekarno menyebut bahwa kehadiran Bung Hatta tidaklah penting dalam proses proklamasi. Paragraf itu memicu kontroversi. Bagaimana pendapat Anda?

Saya tidak menulisnya. Itu disisipkan. Waktu itu, saya memberikan izin kepada salah satu penerbit di Indonesia untuk menerbitkan. Penerjemahnya, tanpa melakukan cross check kepada saya, tanpa izin saya, menambahkan dua paragraf tersebut.

Saya tidak pernah mengira hal itu akan terjadi. Saya lihat, di situ (edisi terjemahan) tertulis Bapak bilang Hatta tidak penting. Saya tidak, tidak, tidak pernah menulis itu. Bapak pun tidak pernah mengatakan itu.

Presiden Soekarno adalah orang yang sangat romantis kepada perempuan. Apakah Anda pernah mendapat puisi romantis atau kata-kata romantis dari dia?

(Cindy tersenyum) Dia mencintai kehidupan, dia mencintai perempuan. Saya tidak pernah bertemu presiden lain yang melakukan hal yang sama. Dia dekat dengan Marilyn Monroe, dengan bintang-bintang film. Seperti halnya saya yang terlihat menarik, dia hanya menikmati cara-cara untuk mengagumi perempuan dan para perempuan pun mengaguminya.

Apa pesan paling spesial yang pernah disampaikan Presiden Soekarno kepada rakyat Indonesia?

Menjadi negara Indonesia. Ini adalah negeri yang begitu hebat, 17 ribu pulau, dikelilingi lautan, membentang begitu luas. Tanpa semangat untuk membangun negara, mustahil Indonesia bisa berdiri hingga sekarang.
Learn more »

Kisah Soekarno soal peci miring dan pohon beringin

Anda sudah tentu pernah melihat foto Presiden Soekarno dengan peci miring. Apa alasan Soekarno memakai peci miring? Jawaban itu dapat ditemukan di 'Ndalem Pojok' di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Alasan memakai topi miring itu ternyata untuk menutupi luka akibat jatuh dari pohon beringin.

"Rahasia mengapa Soekarno selalu memakai peci miring karena untuk menutupi luka di jidatnya akibat terjatuh ketika bermain di pohon beringin yang ada di depan rumahnya," kata RM Soeharyono keponakan RM Soemosewoyo yang juga bapak angkat Soekarno.

Namun sayang, pohon beringin yang menjadi saksi jatuhnya Soekarno itu telah ambruk sekitar tahun 1970-an karena diterjang angin. "Keluarga kita sempat mendapat intimidasi dari militer atas ambruknya pohon beringin ini, kita dikira tidak pro Orde Baru," tandas Soeharyono.

Soekarno yang mempunyai banyak teman, sering mengajak teman-temannya main ke 'Ndalem Pojok' Wates, antara lain dr Soetomo, R Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) dan HOS Tjokroaminoto dan juga Muso, tokoh PKI asal Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

"HOS Tjokroaminoto melatih Soekarno berorasi ya di sini di bawah pohon beringin yang mengakibatkan luka pada jidatnya. Jadi gaya orasi Soekarno itu atas didikan Pak Tjokro yang juga mertuanya ketika kos di Peneleh Gang II/27 Surabaya," tambah Soeharyono.

Lokasi pohon beringin tempat di mana Soekarno berlatih orasi sekarang menjadi tiang bendera, di mana di setiap kegiatan hari besar nasional selalu diadakan upacara di 'Ndalem Pojok'.

Selain cerita tentang pohon beringin juga ada pohon yang menjadi saksi perjalanan cinta ayah Soekarno, R Soekemi, yakni pohon kantil raksasa. Pohon yang ditanam sekitar tahun 1850 oleh RMP. Soemohadmodjo itu pernah dimanfaatkan sang ayah untuk memantapkan hatinya meminang sang pujaan hati Ida Nyoman Rai Srimben dari Bali.

"Tanaman mbah buyut saya masih ada sampai sekarang, dan kalau dipikir ini adalah tanaman pohon kantil terbesar yang pernah ada," pungkas R. Koeshartono cucu keponakan RM Soemosewoyo yang juga ayah angkat Soekarno.
Learn more »

Orde Baru Rekayasa Pelecehan Soekarno Terhadap Hatta

Bulan Soekarno, begitu para pengikut sang proklamator menyebut Juni. Soekarno memang lahir pada 6 Juni 1901 dan Pancasila yang digagasnya disampaikan pada 1 Juni 1945.

Maka menjelang Bulan Soekarno ini, buku-buku soal dia pun mulai memenuhi toko buku, termasuk biografi resmi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.

Pada halaman sampul terbitan terbarunya, ada tulisan “revisi”. Guntur Soekarno Putra menjelaskan di sampul belakang bahwa buku yang terbit perdana 1966 itu direvisi karena, “Ada selipan-selipan isi yang tidak ada pada naskah aslinya yang menimbulkan kesalahpahaman pada beberapa tokoh nasional kita,” kata putra sulung Soekarno ini.

Mantan ajudan Soekarno, Sidarto Danusubroto, dalam biografinya mengupas masuknya dua paragraf siluman yang dinilainya rekayasa buat membenturkan Soekarno dengan Mohammad Hatta. Berikut ini penjelasan Ketua MPR RI itu dalam nukilan buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno.

***

Ahmad Syafii Maarif menumpahkan kekesalannya terhadap Soekarno dalam diskusi yang diadakan di Gedung Pola pada 2006. Dalam diskusi yang diadakan Yayasan Bung Karno itu, pria yang pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini menganggap Soekarno sangat melecehkan Hatta.

Mengutip biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, Syafii menunjuk pada perkataan Soekarno yang menyatakan Wakil Presiden pertama itu tak punya peran dalam sejarah Indonesia. Cindy Adams sendiri dalam menulis buku ini, sepenuhnya mengutip hasil wawancaranya dengan Soekarno.

Sidarto bercerita, Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones yang mengusulkan penulisan biografi ini sewaktu menyantap nasi goreng bersama Soekarno di paviliun Istana Bogor. Soekarno akhirnya mengikuti saran itu dan menunjuk Cindy Adams, wartawan Amerika Serikat.

Saat itu Cindy Adams sedang mendampingi suaminya, Joey Adams yang berkunjung ke Asia Tenggara. Joey Adams adalah pemimpin misi kesenian yang diutus Presiden John F. Kennedy.

Namun Sidarto tak percaya Soekarno merendahkan Hatta. Maka ketika biografi itu akan diterbitkan ulang oleh Yayasan Bung Karno, Sidarto minta mengecek tulisan asli Adams. “Sebetulnya bagaimana bunyi asli dalam bahasa Inggris pernyataan yang merendahkan Hatta itu?” ujarnya.

Yayasan Bung Karno lantas menugaskan Syamsu Hadi buat menerjemahkan ulang buku itu. Ternyata, kata Sidarto, Syamsu menemukan banyak kekeliruan penerjemahan.

“Yang paling mengagetkan adalah dua alinea yang ditambahkan dalam edisi bahasa Indonesia sejak 1966,” kata Sidarto. “Kedua alinea itu tidak ada dalam edisi bahasa Inggris.”

Dalam edisi lama, paragraf itu bisa ditemukan pada halaman 341. Terselip di antara kisah yang menceritakan detik-detik menjelang proklamasi. 

“Tidak ada yang berteriak 'Kami menghendaki Bung Hatta'. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.

“Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan 'pemimpin' ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra dan di hari-hari  yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.”

Sidarto menduga ada rekayasa memasukkan dua alinea itu demi membenturkan kedua proklamator. Dia memang tak menyebut orang yang diduganya sengaja menyelipkannya.

Biografi Soekarno versi aslinya, Sukarno – An Autobiography, pertama kali terbit pada 1965. Namun terjemahannya dalam bahasa Indonesia baru terbit pada 1966 setelah kekuasaan Soekarno mulai lemah. 

Anehnya, Letnan Jenderal Suharto menyetujui penerbitan itu. Bahkan Menteri/Panglima Angkatan Darat itu menuliskan sambutannya di edisi perdana: “Dengan penerbitan ini, diharapkan dapat terbaca luas di kalangan rakyat, bangsa Indonesia.”

Sidarto menduga dalam proses penerjemahan yang “direstui” itulah disisipkan dua paragraf palsu. “Dalam pengantar penerbit disebutkan bahwa sang penerjemah sudah direstui oleh Letnan Jenderal Soeharto,” ujarnya.

“Cukup banyak kepentingan yang ikut bermain di balik penerbitan buku ini,” kata Sidarto. “Kalau tambahan dua alinea itu hasil rekayasa, siapa yang melakukannya?”

Sidarto menemukan, dalam edisi perdana bahasa Indonesia pada 1966, tercantum penerjemahnya adalah Mayor Abdul Bar Salim. Abdul masih tercatat sebagai penerjemah pada cetakan-cetakan selanjutnya, yakni 1982, 1984, 1986, dan 1984, namun sejak edisi kedua pangkatnya sudah tak dicantumkan lagi.
Learn more »