Orde Baru Rekayasa Pelecehan Soekarno Terhadap Hatta
Bulan Soekarno, begitu para pengikut sang proklamator menyebut Juni. Soekarno memang lahir pada 6 Juni 1901 dan Pancasila yang digagasnya disampaikan pada 1 Juni 1945.
Maka menjelang Bulan Soekarno ini, buku-buku soal dia pun mulai memenuhi toko buku, termasuk biografi resmi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.
Pada halaman sampul terbitan terbarunya, ada tulisan “revisi”. Guntur Soekarno Putra menjelaskan di sampul belakang bahwa buku yang terbit perdana 1966 itu direvisi karena, “Ada selipan-selipan isi yang tidak ada pada naskah aslinya yang menimbulkan kesalahpahaman pada beberapa tokoh nasional kita,” kata putra sulung Soekarno ini.
Mantan ajudan Soekarno, Sidarto Danusubroto, dalam biografinya mengupas masuknya dua paragraf siluman yang dinilainya rekayasa buat membenturkan Soekarno dengan Mohammad Hatta. Berikut ini penjelasan Ketua MPR RI itu dalam nukilan buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno.
***
Ahmad Syafii Maarif menumpahkan kekesalannya terhadap Soekarno dalam diskusi yang diadakan di Gedung Pola pada 2006. Dalam diskusi yang diadakan Yayasan Bung Karno itu, pria yang pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini menganggap Soekarno sangat melecehkan Hatta.
Mengutip biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, Syafii menunjuk pada perkataan Soekarno yang menyatakan Wakil Presiden pertama itu tak punya peran dalam sejarah Indonesia. Cindy Adams sendiri dalam menulis buku ini, sepenuhnya mengutip hasil wawancaranya dengan Soekarno.
Sidarto bercerita, Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones yang mengusulkan penulisan biografi ini sewaktu menyantap nasi goreng bersama Soekarno di paviliun Istana Bogor. Soekarno akhirnya mengikuti saran itu dan menunjuk Cindy Adams, wartawan Amerika Serikat.
Saat itu Cindy Adams sedang mendampingi suaminya, Joey Adams yang berkunjung ke Asia Tenggara. Joey Adams adalah pemimpin misi kesenian yang diutus Presiden John F. Kennedy.
Namun Sidarto tak percaya Soekarno merendahkan Hatta. Maka ketika biografi itu akan diterbitkan ulang oleh Yayasan Bung Karno, Sidarto minta mengecek tulisan asli Adams. “Sebetulnya bagaimana bunyi asli dalam bahasa Inggris pernyataan yang merendahkan Hatta itu?” ujarnya.
Yayasan Bung Karno lantas menugaskan Syamsu Hadi buat menerjemahkan ulang buku itu. Ternyata, kata Sidarto, Syamsu menemukan banyak kekeliruan penerjemahan.
“Yang paling mengagetkan adalah dua alinea yang ditambahkan dalam edisi bahasa Indonesia sejak 1966,” kata Sidarto. “Kedua alinea itu tidak ada dalam edisi bahasa Inggris.”
Dalam edisi lama, paragraf itu bisa ditemukan pada halaman 341. Terselip di antara kisah yang menceritakan detik-detik menjelang proklamasi.
“Tidak ada yang berteriak 'Kami menghendaki Bung Hatta'. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
“Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan 'pemimpin' ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.”
Sidarto menduga ada rekayasa memasukkan dua alinea itu demi membenturkan kedua proklamator. Dia memang tak menyebut orang yang diduganya sengaja menyelipkannya.
Biografi Soekarno versi aslinya, Sukarno – An Autobiography, pertama kali terbit pada 1965. Namun terjemahannya dalam bahasa Indonesia baru terbit pada 1966 setelah kekuasaan Soekarno mulai lemah.
Anehnya, Letnan Jenderal Suharto menyetujui penerbitan itu. Bahkan Menteri/Panglima Angkatan Darat itu menuliskan sambutannya di edisi perdana: “Dengan penerbitan ini, diharapkan dapat terbaca luas di kalangan rakyat, bangsa Indonesia.”
Sidarto menduga dalam proses penerjemahan yang “direstui” itulah disisipkan dua paragraf palsu. “Dalam pengantar penerbit disebutkan bahwa sang penerjemah sudah direstui oleh Letnan Jenderal Soeharto,” ujarnya.
“Cukup banyak kepentingan yang ikut bermain di balik penerbitan buku ini,” kata Sidarto. “Kalau tambahan dua alinea itu hasil rekayasa, siapa yang melakukannya?”
Sidarto menemukan, dalam edisi perdana bahasa Indonesia pada 1966, tercantum penerjemahnya adalah Mayor Abdul Bar Salim. Abdul masih tercatat sebagai penerjemah pada cetakan-cetakan selanjutnya, yakni 1982, 1984, 1986, dan 1984, namun sejak edisi kedua pangkatnya sudah tak dicantumkan lagi.
Maka menjelang Bulan Soekarno ini, buku-buku soal dia pun mulai memenuhi toko buku, termasuk biografi resmi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.
Pada halaman sampul terbitan terbarunya, ada tulisan “revisi”. Guntur Soekarno Putra menjelaskan di sampul belakang bahwa buku yang terbit perdana 1966 itu direvisi karena, “Ada selipan-selipan isi yang tidak ada pada naskah aslinya yang menimbulkan kesalahpahaman pada beberapa tokoh nasional kita,” kata putra sulung Soekarno ini.
Mantan ajudan Soekarno, Sidarto Danusubroto, dalam biografinya mengupas masuknya dua paragraf siluman yang dinilainya rekayasa buat membenturkan Soekarno dengan Mohammad Hatta. Berikut ini penjelasan Ketua MPR RI itu dalam nukilan buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno.
***
Ahmad Syafii Maarif menumpahkan kekesalannya terhadap Soekarno dalam diskusi yang diadakan di Gedung Pola pada 2006. Dalam diskusi yang diadakan Yayasan Bung Karno itu, pria yang pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini menganggap Soekarno sangat melecehkan Hatta.
Mengutip biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, Syafii menunjuk pada perkataan Soekarno yang menyatakan Wakil Presiden pertama itu tak punya peran dalam sejarah Indonesia. Cindy Adams sendiri dalam menulis buku ini, sepenuhnya mengutip hasil wawancaranya dengan Soekarno.
Sidarto bercerita, Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones yang mengusulkan penulisan biografi ini sewaktu menyantap nasi goreng bersama Soekarno di paviliun Istana Bogor. Soekarno akhirnya mengikuti saran itu dan menunjuk Cindy Adams, wartawan Amerika Serikat.
Saat itu Cindy Adams sedang mendampingi suaminya, Joey Adams yang berkunjung ke Asia Tenggara. Joey Adams adalah pemimpin misi kesenian yang diutus Presiden John F. Kennedy.
Namun Sidarto tak percaya Soekarno merendahkan Hatta. Maka ketika biografi itu akan diterbitkan ulang oleh Yayasan Bung Karno, Sidarto minta mengecek tulisan asli Adams. “Sebetulnya bagaimana bunyi asli dalam bahasa Inggris pernyataan yang merendahkan Hatta itu?” ujarnya.
Yayasan Bung Karno lantas menugaskan Syamsu Hadi buat menerjemahkan ulang buku itu. Ternyata, kata Sidarto, Syamsu menemukan banyak kekeliruan penerjemahan.
“Yang paling mengagetkan adalah dua alinea yang ditambahkan dalam edisi bahasa Indonesia sejak 1966,” kata Sidarto. “Kedua alinea itu tidak ada dalam edisi bahasa Inggris.”
Dalam edisi lama, paragraf itu bisa ditemukan pada halaman 341. Terselip di antara kisah yang menceritakan detik-detik menjelang proklamasi.
“Tidak ada yang berteriak 'Kami menghendaki Bung Hatta'. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
“Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan 'pemimpin' ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.”
Sidarto menduga ada rekayasa memasukkan dua alinea itu demi membenturkan kedua proklamator. Dia memang tak menyebut orang yang diduganya sengaja menyelipkannya.
Biografi Soekarno versi aslinya, Sukarno – An Autobiography, pertama kali terbit pada 1965. Namun terjemahannya dalam bahasa Indonesia baru terbit pada 1966 setelah kekuasaan Soekarno mulai lemah.
Anehnya, Letnan Jenderal Suharto menyetujui penerbitan itu. Bahkan Menteri/Panglima Angkatan Darat itu menuliskan sambutannya di edisi perdana: “Dengan penerbitan ini, diharapkan dapat terbaca luas di kalangan rakyat, bangsa Indonesia.”
Sidarto menduga dalam proses penerjemahan yang “direstui” itulah disisipkan dua paragraf palsu. “Dalam pengantar penerbit disebutkan bahwa sang penerjemah sudah direstui oleh Letnan Jenderal Soeharto,” ujarnya.
“Cukup banyak kepentingan yang ikut bermain di balik penerbitan buku ini,” kata Sidarto. “Kalau tambahan dua alinea itu hasil rekayasa, siapa yang melakukannya?”
Sidarto menemukan, dalam edisi perdana bahasa Indonesia pada 1966, tercantum penerjemahnya adalah Mayor Abdul Bar Salim. Abdul masih tercatat sebagai penerjemah pada cetakan-cetakan selanjutnya, yakni 1982, 1984, 1986, dan 1984, namun sejak edisi kedua pangkatnya sudah tak dicantumkan lagi.
0 komentar: