Kebocoran 800 ribu data nasabah KreditPlus dijualbelikan di situs
Raidforums. Foto: CISSReC (Communication and Information System Security
Research Center)
Kebocoran data kembali terjadi di Indonesia. Kali ini lebih dari 800 ribu data nasabah KreditPlus dijualbelikan di situs Raidforums.
Lembaga
Riset Siber Indonesia CISSReC (Communication and Information System
Security Research Center) menuturkan, bocornya data KreditPlus
sebenarnya dibagikan pada 16 Juli 2020 lalu yang di-upload oleh anggota
Raidforums bernama ShinyHunters.
Disampaikan CISSReC, member di
Raidforums membagikannya melalui sistem pembayaran kredit, mata uang
forum tersebut yang jika dirupiahkan sekitar Rp 50 ribu.
Setelah
membayarnya, nanti akan mendapatkan sebuah link yang diarahkan untuk
mengunduh file berisi ratusan ribu data pelanggan Kreditplus tersebut.
File unduhan sebesar 78 MB tersebut harus diekstrak dan menghasilkan
sebuah file sebesar 430 MB.
Setelah file dibuka, barulah terlihat sebanyak 819.976 data nasabah
yang terbilang rinci, mulai dari nama, KTP, email, status pekerjaan,
alamat, data keluarga penjamin pinjaman, tanggal lahir, nomor telepon,
dan lainnya.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan,
informasi yang bocor ini adalah data sensitif yang sangat lengkap.
Diungkapkan Pratama, ini sangat berbahaya untuk nasabah, karena dari
kelengkapan data nasabah KreditPlus ini memancing kelompok kriminal
untuk melakukan penipuan dan tindak kejahatan yang lainnya.
"Masalah
utama di tanah air belum ada UU yang memaksa para penyedia jasa sistem
elektronik ini untuk mengamankan dengan maksimal data masyarakat yang
dihimpunnya.
Sehingga data yang seharusnya semua dienkripsi, masih bisa
dilihat dengan mata telanjang," jelas chairman lembaga riset siber
Indonesia CISSReC ini dalam keterangan tertulisnya.
Dalam hal ini, kata Pratama, negara punya tanggungjawab untuk
melakukan percepatan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Dalam UU
tersebut harus disebutkan bahwa setiap penyedia jasa sistem transaksi
elektronik (PSTE) yang tidak mengamankan data masyarakat, bisa dituntut
ganti rugi dan dibawa ke pengadilan.
"Hal serupa ada di regulasi
perlindungan data pribadi bagi warga Uni Eropa, General Data Protection
Regulation (GDPR). Setiap data yang dihimpun harus diamankan dengan
enkripsi.
Bila terbukti lalai, maka penyedia jasa sistem elektronik bisa
dikenai tuntutan sampai 20 juta euro," ungkapnya.
"Bisa
dibayangkan bila Kreditplus ini ada di luar negeri, bisa dikenai pasal
kelalaian dalam GDPR.
Sama juga dengan peristiwa kebocoran data yang
sudah terjadi di tanah air sebelumnya," terang pria yang juga dosen
pascasarjana Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini.
Maka dari
itu, disampaikan Pratama, sangat penting pasal perlindungan tersebut
masuk dalam RUU PDP di Tanah Air.
Pihak penyelenggara sistem transaksi
elektronik harus mulai menjadikan data penggunanya sebagai prioritas
keamanan.
Pilih teknologi enkripsi teraman dan semua data harus
dienkripsi. Data offline juga harus mendapatkan model pengamanan yang
tidak kalah ketat.
"Untuk mencegah pencurian data berulang, perlu diadakan penetration
test dan juga bug bounty.
Setiap PSTE bisa memberikan reward yang layak
pada setiap pihak yang menemukan celah keamanan pada sistem mereka.
Hal
ini sering dilakukan Apple, Google, FB, Amazon dan raksasa teknologi
lainnya," jelasnya.
Peristiwa pencurian data atau kebocoran data
yang terus berulang ini, Pratama sebaiknya mendorong Kominfo dan BSSN
untuk lebih sering turun ke lapangan melakukan edukasi dan memaksa PSTE
untuk membangun sistem yang lebih baik, terutama dalam melindungi data
nasabah atau pelanggan platform mereka.
Menurut Pratama, karena
keamanan siber ini akan menjadi salah satu hal yang dijadikan patokan
investor untuk berbisnis di Indonesia.
"Sebelum pemilik layanan
bisa mengamankan data pribadi penggunanya, kita juga harus bisa
mengamankan data pribadi kita sendiri. Misalnya yang buat password yang
baik dan kuat, aktifkan two factor authentication.
Pasang anti virus di
setiap gawai yang digunakan, jangan menggunakan wifi gratisan, jangan
membuka link yang tidak dikenal dan mencurigakan, serta pengamanan
standar lainnya," pungkas dia. |
0 komentar: