Para ayah tentu bangga jika buah hatinya sukses. Apalagi ayah yang
satu ini, mengingat anaknya menjadi orang terkaya di dunia sekaligus
dikenal dermawan. Ya, dia adalah William Henry Gates yang lebih akrab
dikenal dengan nama Bill Gates Sr. Sudah bisa ditebak, dia ayah Bill Gates.
Sebelum wafat, ia selalu energik dan ikut sibuk mengurusi yayasan Bill
& Melinda Gates Foundation. Mendiang Bill Gates Sr. pernah
menceritakan kisah menarik membesarkan Bill Gates, seperti terungkap
dalam wawancara berikut ini yang dikutip dari Forbes. Seperti apa Bill Gates semasa kecil?
Dia
suka hampir segala jenis buku, ensiklopedia, sains fiksi, apapun. Aku
senang anakku ini keranjingan membaca, namun dia memang membaca terlalu
banyak sehingga ibunya dan aku membuat peraturan, dia tidak boleh
membaca buku di meja makan. Apakah cita-cita Bill dulu? Sebagai bagian
dari pekerjaan rumah di kelas lima, Bill harus mengisi daftar tentang
ingin jadi apa kalau sudah besar. Ada daftar seperti dokter, pemadam
kebakaran atau koboi. Siswa diminta hanya memilih satu. Bill menyilang
astronot, tapi dia juga menulis ilmuwan. Ketika tumbuh besar, dia
sangat ingin tahu tentang bagaimana dunia ini bekerja dan punya ide
sendiri soal bisnis, kehidupan, hubungan internasional, dan seperti
apakah masa depan. Waktu itu, sulit bagiku meyakini kalau anak ini suatu
hari akan menjadi bosku, tapi itu terjadi sekarang. Kapan pertama kali dia kenal komputer? Saat
masih kecil. Kesempatan datang di sekolahnya ketika para ibu
mengumpulkan uang untuk membayar sebuah perangkat yang terkoneksi
komputer melalui sambungan telepon. Tujuannya agar guru menggunakannya,
tapi mereka melakukan beberapa kesalahan dan malah takut memakainya. Bill masuk dalam sebuah grup siswa matematika dan diundang menggunakan
sistem itu dan dia mempelajari cara kerjanya. Saat 13 tahun dia sudah
gandrung dengan komputer. Apakah Bill punya pekerjaan sebelum kuliah? Ketika
SMA, Bill melakukan programming di sebuah power plant di North
Bonnevile, Washington. Aku dan ibunya sudah bicara pada kepala
sekolahnya dan kami semua setuju kalau pekerjaan itu adalah cara praktis
mempraktekkan keterampilannya. Bill mengatakan padaku kalau dia dan
Paul Allen, yang bekerja bersamanya, terbangun sampai malam untuk
mengerjakan kode sistem manajemen kelistrikan. Bagaimana perasaan Anda ketika dia mau drop out dari Harvard? Aku
tak bisa bohong kalau aku tidak khawatir. Tapi aku memang bukan faktor
besar dalam keputusannya itu. Bill memiliki ide sendiri soal bagaimana
dia ingin mencapai tujuannya dan bisnis komputer yang dia dirikan
bersama Paul Allen sangat membuatnya sibuk. Menjadi drop out
kuliah jelas adalah sebuah hal yang tidak aku dan istriku inginkan
terjadi pada anak kami, tapi Bill sepertinya tahu apa yang dia lakukan. Bagaimana Bill menjadi dermawan? Istriku
meyakini perkataan siapa banyak memberi akan banyak menerima. Dari awal,
dia menanamkan nilai itu sebagai hal penting di keluarga. Nah, ketika
Bill dan Melinda semakin makmur berkat Microsoft, Bill menerima banyak
surat permintaan bantuan. Tapi masih sulit bagi mereka membagi waktu
karena harus membesarkan keluarga dan menjalankan Microsoft. Rencana
mereka adalah serius soal filantropi ketika Bill sudah pensiun dari
Microsoft. Hal itu berubah ketika istriku Marry, sakit kanker dan
meninggal tahun 1994 dan aku pensiun sebagai pengacara. Beberapa bulan
kemudian, aku mengatakan kalau mungkin aku bisa membantu mereka soal
aktivitas kemanusiaan. Kupikir itu akan jadi pekerjaan menyenangkan
bagiku. Seminggu kemudian, Bill mengatakan akan mendirikan yayasan
dengan modal awal USD 100 juta. Aku kaget sekaligus bangga. Tak lama
kemudian, aku menulis cek sumbangan pertama sebesar USD 80 ribu untuk
program mengatasi kanker. |
0 komentar: