Jauh sebelum ponsel pintar atau smartphone Android dan iPhone merajalela, ada Palm
dengan berbagai produk komputer genggamnya (personal digital assistant -
PDA), yang ternyata pernah berselisih dengan pabrikan pulpen. Palm
Inc, yang awalnya bernama Palm Computing didirikan pada 1992 oleh Jeff
Hawkins. Bersama dengan Donna Dubinsky dan Ed Colligan, mereka membuat
Palm Pilot, salah satu PDA paling pertama dan paling sukses. Saking
suksesnya, nama Palm sering diasosiasikan sebagai PDA dan menjadi
pemimpin pasar di ranah komputer genggam selama hampir satu dekade. Pilot adalah sebuah PDA yang punya empat fungsi utama, yaitu memo, buku
alamat, kalender, dan to-do lists.
Pilot
mendominasi pasar PDA dan terjual lebih dari sejuta unit dalam 1,5
tahun pertamanya, demikian dikutip dari Techspot. PDA ini bisa menjadi sangat terkenal karena punya bentuk yang enak di
tangan dan cukup di kantong celana. Spesifikasinya antara lain adalah
CPU Motorola 68328 16 MHz, layar sentuh monokrom 160x160 pixel dan
dilengkapi dengan Graffiti input zone, dan menggunakan baterai AAA
sebagai sumber tenaga. Pengguna Pilot juga bisa menghubungkan PDA
ini dengan PC menggunakan docking dan kabel khusus. Harga Pilot 1000 -
versi pertama -- adalah USD 299, setengah dari harga Apple Newton yang
merupakan pesaingnya saat itu. Pilot bisa menyimpan 500 alamat dan
600 janji. Sementara Pilot 5000 -- penerusnya -- hanya USD 69 lebih
mahal dan punya storage lima kali lipat lebih besar. Palm Pilot digugat Pilot Namun, Palm
Pilot ini juga yang membuat mereka berselisih dengan pabrikan pembuat
pulpen bernama Pilot. Palm digugat karena menggunakan nama Pilot, yang
kemudian memaksa mereka menggantinya dengan PalmPilot, dan akhirnya tak
lagi menggunakan nama tersebut untuk produk penerusnya, yaitu Palm III
dan Palm Tungsten. Selama hidupnya, Palm beberapa kali berganti
kepemilikan. Pada September 1995 mereka diakuisisi oleh U.S. Robotics
senilai USD 44 juta, dan Pilot diluncurkan tepat setahun setelah
akuisisi ini terjadi. Namun kemudian U.S. Robotics diakuisisi oleh
3Com pada 1997 dengan valuasi USD 6,6 miliar. Namun pendiri Palm, yaitu
Hawkins, Dubinsky, dan Colligan, tak suka dengan arah perusahaan
setelah diakuisisi oleh 3Com. Dari Palm ke Handspring lalu ke Palm Lagi Mereka
pun mengundurkan diri dan mendirikan Handspring setahun kemudian, dan
kemudian merilis PDA lain bernama Visor yang juga menggunakan sistem
operasi Palm. Uniknya, Handspring ini juga kemudian diakuisisi oleh Palm
beberapa tahun kemudian. Pada Maret 2000, Palm akhirnya
memisahkan diri dari induknya dan melakukan initial public offering
(IPO) atau resmi masuk ke pasar saham. Valuasi mereka saat itu lebih
tinggi dibanding General Motors, McDonalds, dan bahkan induk
perusahaannya 3Com, namun valuasi yang kelewat tinggi itu hanya bertahan
setahun, dan mereka pun kehilangan 90% valuasinya. Kompetisi di
pasar PDA saat itu sangatlah ketat karena banyak perusahaan seperti HP,
Sony, Compaq, Nokia, dan Casio yang ikut bertarung. Meski Palm tetap
bisa bertahan karena punya 70 ribu developer pihak ketiga. Namun
akhirnya merkea harus menyerah dan merilis perangkat dengan OS Windows
Mobile, yaitu Palm Treo 700w. Bisnis mereka mulai goyang saat Research
In Motion (RIM) merilis BlackBerry, lalu dilanjutkan dengan Apple yang
merilis iPhone pada 2007, dan kemudian tentunya adalah kehadiran
Android. Palm belum
mau mengaku kalah, dan pada CES 2009 mereka merilis Palm Pre, sebuah
smartphone yang menjalankan sistem operasi webOS. Namun, bisa ditebak,
penjualan produk tersebut tak mengesankan. webOS pun kemudian
dibeli oleh HP dan dijadikan platform open source, yang kemudian merilis
Pre 2, yang juga tak berhasil. webOS kemudian dibeli oleh LG dan
dijadikan OS untuk berbagai perangkat buatannya, seperti TV, kulkas, dan
lain sebagainya. Saat ini, Palm sebagai perusahaan memang sudah
tidak ada. Namun hak penggunaan namanya sudah dibeli oleh TCL. Mungkin
saja ke depannya TCL bakal merilis perangkat dengan nama Palm, sama
seperti saat mereka bekerja sama dengan BlackBerry untuk menghidupkan
kembali nama tersebut, meski kemudian gagal.
|
0 komentar: