Teknopreneur Belanda Ini Jadi Mualaf & Urus Anak Jalanan di Lombok
Chaim Fetter (dok.pribadi)
Di usianya yang masih muda, segala materi bisa dibilang sudah didapatkan oleh Chaim Fetter. Namun ternyata, kemapanan bukanlah segalanya, ada hal lain yang masih kurang dari hidup teknopreneur asal Belanda ini.
Sampai akhirnya sebuah perjalanan spiritual ke Lombok, Indonesia, sekitar 10 tahun lalu membuat hidup Chaim berubah drastis dan jadi lebih berarti.
Chaim merupakan salah satu pionir internet di Belanda. Ketika berumur 13 tahun -- sekitar 20 tahun lalu -- ia sudah jadi seorang programming dengan modal otodidak.
Di usia 16 tahun, Chaim muda sudah mampu membuat situs e-commerce sendiri. Tak ayal, dengan merintis karir sebagai teknoprenuer lebih awal, pada usia 23 tahun sudah semua materi dimiliki Chaim.
"Apartemen, mobil saya sudah punya semuanya. Hanya saja ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya, merasa kurang berarti banyak. Dan saya ingin melakukan hal lain untuk banyak orang," tuturnya.
Lantas, Chaim pun berpetualang dari satu negara ke negara lainnya untuk mencari hal yang kurang dari dirinya tersebut. Hingga tahun 2004, Chaim menjejak Lombok, Indonesia. Awalnya, ia hanya ingin liburan. Namun takdir berkata lain, ia malah jatuh hati dan ingin tinggal lebih lama di wilayah yang punya deretan pantai menggoda tersebut.
Jadi Mualaf
Sampai akhirnya sebuah perjalanan spiritual ke Lombok, Indonesia, sekitar 10 tahun lalu membuat hidup Chaim berubah drastis dan jadi lebih berarti.
Chaim merupakan salah satu pionir internet di Belanda. Ketika berumur 13 tahun -- sekitar 20 tahun lalu -- ia sudah jadi seorang programming dengan modal otodidak.
Di usia 16 tahun, Chaim muda sudah mampu membuat situs e-commerce sendiri. Tak ayal, dengan merintis karir sebagai teknoprenuer lebih awal, pada usia 23 tahun sudah semua materi dimiliki Chaim.
"Apartemen, mobil saya sudah punya semuanya. Hanya saja ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya, merasa kurang berarti banyak. Dan saya ingin melakukan hal lain untuk banyak orang," tuturnya.
Lantas, Chaim pun berpetualang dari satu negara ke negara lainnya untuk mencari hal yang kurang dari dirinya tersebut. Hingga tahun 2004, Chaim menjejak Lombok, Indonesia. Awalnya, ia hanya ingin liburan. Namun takdir berkata lain, ia malah jatuh hati dan ingin tinggal lebih lama di wilayah yang punya deretan pantai menggoda tersebut.
Jadi Mualaf
"Banyak orang Indonesia ketika melihat bule itu pasti langsung dianggap (sebagai pemeluk agama) Kristen. Padahal pas saya datang ke Indonesia itu belum beragama," ujar Chaim.
Lalu ketika datang ke Lombok, Chaim berkenalan dengan tokoh setempat. Kebetulan, di wilayah tempatnya tinggal, agama Islam begitu kental. Ia pun tertarik untuk mengenal lebih jauh.
"Tak perlu lama-lama, kemudian saya belajar dengan tokoh agama di sana dan akhirnya mengucap dua kalimat syahadat," lanjutnya.
"Saya banyak ikut acara di masjid, solat Jumat, puasa, lebaran. Masih belajar tapi coba mengikuti ajaran islam," tuturnya dengan bahasa Indonesia yang sudah fasih.
Urus Anak Jalanan
Perjalanan spiritual si ahli internet asal Belanda ini juga tak cuma untuk urusan keyakinan yang dianutnya. Ketika datang ke Lombok 10 tahun lalu, ia melihat banyak anak jalanan yang meminta-minta.
"Melihatnya kasihan, tapi saya tak mau kasih uang ke mereka, karena tak mendidik. Anak-anaknya meminta-minta tapi ibunya duduk di dekat situ. Ada juga yang anak jalanan tak terurus karena orangtuanya cerai atau bahkan ada yang nikah di bawah umur, masih SMP sudah punya anak," Chaim menuturkan.
Lalu ketika datang ke Lombok, Chaim berkenalan dengan tokoh setempat. Kebetulan, di wilayah tempatnya tinggal, agama Islam begitu kental. Ia pun tertarik untuk mengenal lebih jauh.
"Tak perlu lama-lama, kemudian saya belajar dengan tokoh agama di sana dan akhirnya mengucap dua kalimat syahadat," lanjutnya.
"Saya banyak ikut acara di masjid, solat Jumat, puasa, lebaran. Masih belajar tapi coba mengikuti ajaran islam," tuturnya dengan bahasa Indonesia yang sudah fasih.
Urus Anak Jalanan
Perjalanan spiritual si ahli internet asal Belanda ini juga tak cuma untuk urusan keyakinan yang dianutnya. Ketika datang ke Lombok 10 tahun lalu, ia melihat banyak anak jalanan yang meminta-minta.
"Melihatnya kasihan, tapi saya tak mau kasih uang ke mereka, karena tak mendidik. Anak-anaknya meminta-minta tapi ibunya duduk di dekat situ. Ada juga yang anak jalanan tak terurus karena orangtuanya cerai atau bahkan ada yang nikah di bawah umur, masih SMP sudah punya anak," Chaim menuturkan.
"Jadi saya tanya ke anak-anak itu, 'kamu mau apa?' Saat itu saya belum bisa bahasa Indonesia. Lalu mereka bilang, 'mau sekolah pak'. Lalu saya ajak mereka ke sekolah di dekat daerah situ. Lalu kata sekolahnya bisa saja mereka sekolah asal ada yang menanggung. Jadi untuk setahun saya bayar sekolahnya, beli buku, dan itu ada beberapa anak yang tidak punya tempat tinggal".
"Saat itu saya sempat pulang ke Belanda tetapi beberapa kali saya tanya ke gurunya apa mereka (anak-anak jalanan yang ditanggungnya) masih sekolah atau kembali turun ke jalan? Dan ternyata sukses," papar Chaim.
Dengan membulatkan tekat, Chaim memutuskan untuk menjual perusahaan e-commerce yang telah dirintisnya di Belanda untuk kemudian tinggal di Indonesia.
Ia awalnya ingin membuat diving resort di Gili Trawangan. Namun ia tetap menjalankan cita-cita awalnya untuk membangun yayasan bagi anak-anak jalanan.
Niat mulia ini dimulai dengan menyewa rumah. Ternyata aktivitas amal Chaim sampai diliput oleh stasiun TV Belanda, dan berimbas dengan mengalirnya sekitar 7.000 donasi yang diterimanya.
Modal ini pun dikonversikan Chaim menjadi tanah seluas 1,5 hektar. Di sini didirikan Yayasan Peduli Anak yang memiliki dua sekolah -- sekolah dasar dan sekolah keterampilan -- tiga asrama (panti), satu mushola, satu klinik, satu kantor, termasuk kolam renang pada tahun 2006-2008.
"Sekarang ada 100 anak di dalam panti, di luar panti ada 300 anak yang masuk dalam family care program, kerjasama dengan kementerian sosial dimana kita dapat subsidi dari Kementerian Sosial. Anak yang dulunya sehari-hari di jalanan, sekarang harus sekolah dan kembali ke keluarga, jadi kita punya tanggung jawab terhadap 400 anak," ia memaparkan.
"Saat itu saya sempat pulang ke Belanda tetapi beberapa kali saya tanya ke gurunya apa mereka (anak-anak jalanan yang ditanggungnya) masih sekolah atau kembali turun ke jalan? Dan ternyata sukses," papar Chaim.
Dengan membulatkan tekat, Chaim memutuskan untuk menjual perusahaan e-commerce yang telah dirintisnya di Belanda untuk kemudian tinggal di Indonesia.
Ia awalnya ingin membuat diving resort di Gili Trawangan. Namun ia tetap menjalankan cita-cita awalnya untuk membangun yayasan bagi anak-anak jalanan.
Niat mulia ini dimulai dengan menyewa rumah. Ternyata aktivitas amal Chaim sampai diliput oleh stasiun TV Belanda, dan berimbas dengan mengalirnya sekitar 7.000 donasi yang diterimanya.
Modal ini pun dikonversikan Chaim menjadi tanah seluas 1,5 hektar. Di sini didirikan Yayasan Peduli Anak yang memiliki dua sekolah -- sekolah dasar dan sekolah keterampilan -- tiga asrama (panti), satu mushola, satu klinik, satu kantor, termasuk kolam renang pada tahun 2006-2008.
"Sekarang ada 100 anak di dalam panti, di luar panti ada 300 anak yang masuk dalam family care program, kerjasama dengan kementerian sosial dimana kita dapat subsidi dari Kementerian Sosial. Anak yang dulunya sehari-hari di jalanan, sekarang harus sekolah dan kembali ke keluarga, jadi kita punya tanggung jawab terhadap 400 anak," ia memaparkan.
Kangen Dunia Internet
Setelah 8 tahun bergelut dengan yayasan yang dirintisnya di Lombok, Chaim kangen dunia internet. Ia pun pindah ke Jakarta sembari memboyong istrinya yang asli Surabaya plus dua anak angkat pada tahun 2012.
"Waktu pertama datang ke Jakarta, saya bingung mau buat apa. Lalu ada teman yang menunjukkan situs Tokobagus yang juga dirintis oleh orang belanda. Setelah saya coba selama dua minggu, saya bilang, saya bisa bikin situs yang lebih bagus," tegasnya.
Lantas, janji Chaim itu pun direalisasikan dengan kelahiran situs e-commerce yang diberi nama jualo.com pada Januari 2014.
Seperti apa situs jualo ini? Tunggu kisah berikutnya.
Setelah 8 tahun bergelut dengan yayasan yang dirintisnya di Lombok, Chaim kangen dunia internet. Ia pun pindah ke Jakarta sembari memboyong istrinya yang asli Surabaya plus dua anak angkat pada tahun 2012.
"Waktu pertama datang ke Jakarta, saya bingung mau buat apa. Lalu ada teman yang menunjukkan situs Tokobagus yang juga dirintis oleh orang belanda. Setelah saya coba selama dua minggu, saya bilang, saya bisa bikin situs yang lebih bagus," tegasnya.
Lantas, janji Chaim itu pun direalisasikan dengan kelahiran situs e-commerce yang diberi nama jualo.com pada Januari 2014.
Seperti apa situs jualo ini? Tunggu kisah berikutnya.
0 komentar: